BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan Nasional merupakan rangkaian kegiatan yang
meliputi seluruh kehidupan masyarakat bangsa, dan negara untuk melaksanakan
tugas sebagaimana yang di amanatkan dalam Undang-Undang dasar 1945, yaitu
“melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia memajukan
kesejahtraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta melaksanakan ketertiban
dinia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
Negara”.
Pembangunan nasional dilaksanakan secara berencana,
menyeluruh, terpadu, terarah, bertahap dan berlanjut untuk memicu peningkatan
kemampuan nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat
dengan bangsa lain yang maju.
Berbagai macam prospek pembangunan telah dilakukan dari
Orde Lama, Orde Baru hingga masa Reforasi untuk terus mendorong kesejahtraan
dan kemajuan bangsa kea rah yang lebih baik, dalam hal ini pembangunan nasional
juga harus dimulai dari,oleh, dan untuk rakyat, dilaksanakan diberbagai aspek
kehidupan bangsa yang meliputi politik, ekonomi, sosial budaya dan aspek
pertahanan keamanan.
Pembangunan nasional pada dasarnya sangat membutuhkan
kesinergian antara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat adalah pelaku utama
dalam pembangunan dan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing,
serta menciptakan suasana yang menunjang. Kegiatan masyarakat dan kegiatan
pemerintah harus saling menunjang, saling mengisi, saling melengkapi dalam
memajukan masyarakat dan nasional pada umumnya.
B. Tujuan Masalah
Tujuan dari penulisan ini agar dapat memahami suasana dan
arah pembangunan nasional yang telah dilakukan dari masa Orde Lama, Orde Baru
hingga masa Reformasi yang terus menumpu kemajuan nasional yang lebih baik.
Tujuan lain dari penulisan ini juga agar dapat menambah
wawasan masyarakat dalam mewujudkan kehidupan yang adil, makmur dan beradap
atas dasar Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang merdeka, berdaulat, tertib, bersahabat, bersatu, aman, damai dan
sejahtera.
C. Rumusan Masalah
Bagaimana proses pembangunan nasional masa Orde Lama,
Orde Baru, dan Reformasi.
Apa saja yang menjadi kendala pembangunan Indonesia
selama ini, sehingga menjadi masalah yang belum terselesaikan.?
Bagaimana sejarah perencanaan pembangunan Indonesia dari
Orde Lama, Orde Baru, hingga masa Reformasi.?
Kenapa Indonesia menjadi Negara yang didera oleh hutang
luar negeri
Seperti apa proses pengambilan kebijakan ekonomi dalam
pembangunan dari Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi.?
Bagaimana sistem pemerintahan dalam melakukan pembangunan
Indonesia dari masa ke masa.?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perencanaan Pembangunan Indonesia
1.
Orde Lama
Pada era Orde Lama, masa pemerintahan presiden Soekarno
antara tahun 1959-1967, pembangunan dicanangkan oleh MPR Sementara (MPRS) yang
menetapkan sedikitnya tiga ketetapan yang menjadi dasar perencanaan nasional:
TAP MPRS No.I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik
republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara
TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola
Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969,
Ketetapan MPRS No.IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman
Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.
Dengan dasar perencanaan tersebut membuka peluang dalam
melakukan pembangunan Indonesia yang diawali dengan babak baru dalam
mencipatakan iklim Indonesia yang lebih kondusip, damai, dan sejahtera. Proses
mengrehablitasi dan merekontruksi yang di amanatkan oleh MPRS ini diutamakan
dalam melakukan perubahan perekonomian untuk mendorong pembangunan nasional
yang telah didera oleh kemiskinan dan kerugian pasca penjajahan Belanda.
Pada tahun 1947 Perencanaan pembangunan di Indonesia
diawali dengan lahirnya “Panitia Pemikir Siasat Ekonomi”. Perencanaan pembangunan
1947 ini masih mengutamakan bidang ekonomi mengingat urgensi yang ada pada
waktu itu (meskipun di dalamnya tidak mengabaikan sama sekali masalah-masalah
nonekonomi khususnya masalah sosial-ekonomi, masalah perburuhan, aset Hindia
Belanda, prasarana dan lain lain yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial).
Tanpa perencanaan semacam itu maka cita-cita utama untuk “merubah ekonomi
kolonial menjadi ekonomi nasional” tidak akan dengan sendirinya dapat terwujud.
Apalagi jika tidak diperkuat oleh Undang-Undang yang baku pada masa itu.
Sekitar tahun 1960 sampai 1965 proses sistem perencanaan pembangunan mulai
tersndat-sendat dengan kondisi politik yang masih sangat labil telah
menyebabkan tidak cukupnya perhatian diberikan pada upaya pembangunan untuk
memperbaiki kesejahtraan rakyat.
Pada masa ini perekonomian Indonesia berada pada titik
yang paling suram. Persediaan beras menipis sementara pemerintah tidak memiliki
kemampuan untuk mengimpor beras serta memenuhi kebutuhan pokok lainnya. Harga
barang membubung tinggi, yang tercermin dari laju inflasi yang samapai 650
persen ditahun 1966. keadaan plitik tidak menentu dan terus menerus bergejolak
sehingga proses pembangunan Indonesia kembali terabaikan sampai akhirnya muncul
gerakan pemberontak G-30-S/PKI, dan berakir dengan tumbangnya kekuasaan
presiden Soekarno.
2.Orde
Baru
Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partai
Komunis Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde
Baru. Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangani
sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk mengambil segala
tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai
Presiden. Surat yang kemudian dikenal dengan
sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu diartikan sebagai media
pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh.
Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan
stabilitas nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas
nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus
nasional.
Pada era Orde Baru ini, pemerintahan Soeharto menegaskan
bahwa kerdaulatan dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan
berkepribadian dalam bidang sosial budaya. Tekad ini tidak akan bisa terwujud
tanpa melakukan upaya-upaya restrukturisasi di bidang politik (menegakkan
kedaulatan rakyat, menghapus feodalisme, menjaga keutuhan teritorial Indonesia
serta melaksanakan politik bebas aktif), restrukturisasi di bidang ekonomi
(menghilangkan ketimpangan ekonomi peninggalan sistem ekonomi kolonial,
menghindarkan neokapitalisme dan neokolonialisme dalam wujudnya yang canggih,
menegakkan sistem ekonomi berdikari tanpa mengingkari interdependensi global)
dan restrukturisasi sosial budaya (nation and character building, berdasar
Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila serta menghapuskan budaya inlander).
Pada masa ini juga proses pembangunan nasional terus
digarap untuk dapat meningkatkan kapasitas masyarakat dan menciptakan lapangan
kerja. Pendapatan perkapita juga meningkata dibandingkan dengan masa orde lama.
Kesemuanya ini dicapai dalam blueprint nasional atau
rencana pembangunan nasional. Itulah sebabnya di jaman orde lama kita memiliki
rencana-rencana pembangunan lima tahun (Depernas) dan kemudian memiliki pula
Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan-Tahun (Bappenas). Di jaman orde
baru kita mempunyai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I, Repelita II,
Repelita III, Repelita IV, Repelita V,dan Repelita VII (Bappenas).
Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah
adanya krisis moneter tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia
terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus
memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus meningkat.
Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnya
kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan
utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi
besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu
terjadi peristiwa Trisakti, yaitu me-ninggalnya empat mahasiswa Universitas
Trisakti. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai
“Pahlawan Reformasi”.
Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto
berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi.
Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU
Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU
Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk
karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya
penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
3.
Reformasi
Setelah terjadi berbagai goncangan ditanah air dan
berbagai tekanan rakyat kepada presiden Soeharto, akhirnya pada tanggal 21 Mei
1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI
dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini
menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.
Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama
dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Selain itu pada masa ini juga memberi kebebasan dalam menyampaikan pendapat,
partisipasi masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari munculnya
partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat bisa
menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di samping kebebasan
dalam menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi
dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Izin Usaha
Penerbitan (SIUP).
Dengan hadirnya reformasi pembangunan dapat di kontrol
langsung oleh rakyat, dan kebijakan pembangunanpun didasari demokrasi yang
bebunyi dari, oleh dan untuk rakyat, sehingga dengan dasar ini partisipasi
rakyat tidak terkekang seperti pada masa orde baru,kehidupan perekonomian
Indonesia dapat didorong oleh siap saja.
Selain pemabangunan nasional pada masa ini juga
ditekankan kepada hak daerah dan masyarakatnya dalam menentukan daerahnya
masing-masing, sehingga pembangunan daerah sangat diutamakan sebagaimana
dicantumkan dalam Undang-Undang no 32/2004,Undang-Undang 33/2004, Undang-Undang
18/2001 Untuk pemerintahan Aceh, Undang-Undang 21/2001 Untuk Papua. Keempat
undang-undang ini mencerminkan keseriusan pusat dalam melimpahkan wewenangnya
kepada pemerintah dan rakyat di daerah agar daerah dapat menentukan pembangunan
yang sesuai ratyatnya inginkan.
B. Kebijakan Ekonomi Dalam Pembangunan
1.
Orde Lama
Masa pemerintahan Soekarno kebijakan ekonomi pembangunan
masih sangat labil, yang didera oleh berbagai persoalan antaranya
pergejolakankan politik yang belum kondusif dan juga system pemerintahan yang
belum baik, sehingga berdampak pada proses pengambilan kebijakan.
a. Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat
buruk, antara lain disebabkan oleh :
Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya
lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk
sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah
RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan
mata uang pendudukan Jepang.
Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November
1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
Kas negara kosong.
Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri
keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli
1946.
Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India,
mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade
Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19
Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera)
1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan
dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan,
diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor
pertanian merupakan sumber kekayaan).
b. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik
maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian
diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez
faire laissez passer. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah
ekonomi, antara lain :
Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang
(sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar
tingkat harga turun.
Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia
pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral
dan bank sirkulasi.
Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja
Bundar, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha
Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum
bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.
c. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka
Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia
menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan
sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam
sosial, politik,dan ekonomi. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang
diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi
Indonesia, antara lain :
Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan
nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang
kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi
25.000 dibekukan.
Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai
tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya
justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada
1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan
uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1.Tindakan pemerintah untuk menekan angka
inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu
diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada
masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah dan juga
sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat.
2.
Orde Baru
Pada masa Orde Baru, pemerintah menjalankan kebijakan
yang tidak mengalami perubahan terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan
pada masa itu pemerintah sukses menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga
mendukung terjadinya stabilitas ekonomi. Karena hal itulah maka pemerintah
jarang sekali melakukan perubahan-perubahan kebijakan terutama dalam hal
anggaran negara.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, kebijakan ekonominya
berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung
oleh kestabilan politik yang dijalankan oleh pemerintah. Hal tersebut
dituangkan ke dalam jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan Trilogi
Pembangungan, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan
pemerataan pembangunan.
Hal ini berhasil karena selama lebih dari 30 tahun,
pemerintahan mengalami stabilitas politik sehingga menunjang stabilitas
ekonomi. Kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa itu dituangkan pada Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang pada akhirnya selalu
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan menjadi APBN.
APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun
berdasarkan asumsi-asumsi perhitungan dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi,
tingkat inflasi, harga ekspor minyak mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika. Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai ukuran
fundamental ekonomi nasional. Padahal sesungguhnya, fundamental ekonomi nasional
tidak didasarkan pada perhitungan hal-hal makro. Akan tetapi, lebih kearah yang
bersifat mikro-ekonomi. Misalnya, masalah-masalah dalam dunia usaha, tingkat
resiko yang tinggi, hingga penerapan dunia swasta dan BUMN yang baik dan
bersih. Oleh karena itu pemerintah selalu dihadapkan pada kritikan yang
menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN tersebut tidaklah realistis sesuai
keadaan yang terjadi.
Format APBN pada masa Orde Baru dibedakan dalam
penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan terdiri dari penerimaan rutin dan
penerimaan pembangunan serta pengeluaran terdiri dari pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan. Sirkulasi anggaran dimulai pada 1 April dan berakhir
pada 31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan yang disebut tahun fiskal ini
diterapkan seseuai dengan masa panen petani, sehingga menimbulkan kesan bahwa
kebijakan ekonomi nasional memperhatikan petani.
APBN pada masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan
prinsip berimbang, yaitu anggaran penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran
pengeluaran sehingga terdapat jumlah yang sama antara penerimaan dan
pengeluaran. Hal perimbangan tersebut sebetulnya sangat tidak mungkin, karena
pada masa itu pinjaman luar negeri selalu mengalir. Pinjaman-pinjaman luar
negeri inilah yang digunakan pemerintah untuk menutup anggaran yang defisit.
Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut
ditempatkan pada anggaran penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman
tersebut adalah utang yang harus dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran
di masa yang akan datang. Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan banyak
kritik, karena anggaran defisit negara ditutup dengan pinjaman luar negeri.
Padahal, konsep yang benar adalah pengeluaran pemerintah dapat ditutup dengan
penerimaan pajak dalam negeri. Sehingga antara penerimaan dan pengeluaran dapat
berimbang. Permasalahannya, pada masa itu penerimaan pajak saat minim sehingga
tidak dapat menutup defisit anggaran.
3.
Reformasi
Pada masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumbangnya
pemerintahan Orde Baru kemudian disusul dengan era Reformasi yang dimulai oleh
pemerintahan Presiden Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan
yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah
stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami perubahan guna
menyesuaikan dengan keadaan.
Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa
reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang
ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas
politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada
tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan.
Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus
dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan
ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah.
Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di
mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami
masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan
penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi
persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar
pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri
sebesar Rp 116.3 triliun.
Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual
perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan
negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara.
Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi
4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang
diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan
korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali
untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan
nasional.
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat
kebijakan kontroversial yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain
menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak
dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan
kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan
kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin.
Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan
berbagai masalah sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan
perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki
iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure
Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan
kepala-kepala daerah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi
seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka
diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan
kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri
kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara
penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari
35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret
2006.
Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain
karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang
(perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil
kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan
terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya
serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah
berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam
negeri masih kurang kondusif.
Pada masa Reformasi ini proses pembangunan nasional
memang sudah demokratis dan sudah
memerankan fungsi pemerintah daerah dalam menjalankan pasipartisi rakyat
daerahnya. Dengan peluang otonomi daerah telah memberikan sumbangsi yang besar
terhadap proses percepatan pembangunan nasional dan juga menjaminnya sistem
demokrasi yang merakyat.
C. Sistem Pemerintahan
1.
Orde lama
kebijakan pada pemerintah, berorientasi pada
politik,semua proyek diserahkan kepada pemerintah, sentralistik,demokrasi
Terpimpin, sekularisme.
2.
Orde Baru
Kebijakan masih pada pemerintah, namun sektor ekonomi
sudah diserahkan ke swasta/asing, fokus pada pembangunan ekonomi, sentralistik,
demokrasi Pancasila, kapitalisme.
Soeharto dan Orde Baru tidak bisa dipisahkan. Sebab,
Soeharto melahirkan Orde Baru dan Orde Baru merupakan sistem kekuasaan yang
menopang pemerintahan Soeharto selama lebih dari tiga dekade. Betulkah Orde
Baru telah berakhir? Kita masih menyaksikan praktik-praktik nilai Orde Baru
hari ini masih menjadi karakter dan tabiat politik di negeri ini. Kita masih
menyaksikan koruptor masih bercokol di negeri ini. Perbedaan Orde Baru dan Orde
Reformasi secara kultural dan substansi semakin kabur. Mengapa semua ini
terjadi? Salah satu jawabannya, bangsa ini tidak pernah membuat garis demarkasi
yang jelas terhadap Orde Baru.
Tonggak awal reformasi 11 tahun lalu yang diharapkan bisa
menarik garis demarkasi kekuatan lama yang korup dan otoriter dengan kekuatan
baru yang ingin melakukan perubahan justru “terbelenggu” oleh faktor
kekuasaan.Sistem politik otoriter (partisipasi masyarakat sangat minimal) pada
masa orba terdapat instrumen-instrumen pengendali seperti pembatasan ruang
gerak pers, pewadahunggalan organisasi profesi, pembatasan partai poltik,
kekuasaan militer untuk memasuki wilayah-wilayah sipil, dll.
3.
Reformasi
Pemerintahan tidak punya kebijakan (menuruti alur parpol
di DPR), pemerintahan lemah, dan muncul otonomi daerah yang kebablasan,
demokrasi Liberal (neoliberaliseme), tidak jelas apa orientasinya dan mau
dibawa kemana bangsa ini.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Proses pembangunan nasional merupakan suatu kegiatan yang
terus menerus dan menyeluruh dilakukan mulai dari penyusunan suatu rencana,
penyususnan pogram, kegiatan pogram, pengawasan sampai pada pogram
terselesaikan.
Dari penjelasan diatas sebagai arah perjalanan
pembangunan Indonesia, arah tersebut
telah menciptakan berbagai pembaharuan-pembaharuan untuk terus menuju ke
kesejahteraan rakyat. Catatan-catatan diatas ini tidak lain dimaksudkan agar
setiap tindakan pembangunan secara langsung atau tidak lansung dilaksanakan
demi meningkatkan kecerdasan dan kemakmuran rakyat banyak. Khususnya dalam
meningkatkan perekonomian Indonesia yang lebih baik.
Sistem kebijakan pembangunan di Negara Indonesia sudah
menunjukkan perbaikan ke arah yang lebih demokratis ada pasca Reformasi. Paling
tidak ada masa reformasi ini, semua proses pembangunan baik pusat maupun daerah
dituntut supaya harus melibatkan publik dalam proses perencanaan, pelaksanaan
hingga pengawasannya.
Artinya partisipasi aktif masyarakat sipil sangat
diperlukan dalam proses pembangunan negara baik di tingkat pusat maupun daerah
provinsi, kabupaten/kota, distrik dan kampung. Hal ini menuntut kesadaran dan
semangat masyarakat sipil seutuhnya sebagai warga negara dan bangsa Indonesia
yang turut bertanggung jawab dalam proses pembangunan.
Dari Orde Lama hingga era Reformasi pembangunan Indonesia
terus menciptakan suasana yang kondusif, damai, aman, dan sejahtera. Dari segi
birokrasi perubahan periode ke periode selanjutnya semakin menonjol peran
masyarakat dalam pembangunan republik ini.
DAFTAR
PUSTAKA
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090126174820AAFGt08
http://yunaniabiyoso.blogspot.com/2008/04/perbedaan-determinasi-kebijakan.html
http://labtani.wordpress.com/2008/11/07/sejarah-perekonomian-indonesia/
http://www.mudrajad.com/upload/Reformasi%20di%20Persimpangan%20Jalan.pd
B S Muljana.2001.Perencanaan Pembangunan
Nasional.Jakarta:UI-Press.
Ibramim, Lubis. 1998. Materi Pokok Pengawasan
Pembangunan. Jakarta. Karunika Universitas Terbuka.
Pohan, Aulia. 2008. Potret Kebijakan Moneter
Indonesia.Jakarta:Rajawali pers.
Yustika, Ahmad Erani.
2002. Pembangunan dan Krisis, Memetakan Perekonomian Indonesia. Jakarta : PT.
Grasindo.
0 komentar:
Post a Comment