KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS
HALU OLEO
FAKULTAS
ILMU DAN
TEKNOLOGI KEBUMIAN
JURUSAN TEKNIK
PERTAMBANGAN
LAPORAN FIELD TRIP GEOLOGI FISIK
STUDI
GEOLOGI FISIK PENYUSUN BATUAN MOTUI
KABUPATEN KONAWE UTARA
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
Telah dikonsultasikan dan
disetujui oleh Asisten Pembimbing dan Dosen Penanggungjawab
Kendari, 22 November 2016
Disetujui Oleh,
Asisten Pembimbing I Asisten Pembimbing
II
NIM. F1B2
14 070 NIM. F1B2
14 022
Mengetahui,
Dosen Penanggungjawab Koordinator
Asisten
ERWIN ANSHARI S.Si., M.Eng. LA
ODE RAEMAKA
NIP. 19880628 2015141001 NIM.
F1B2 13 090
KEMENTERIAN
RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS
HALU OLEO
FAKULTAS
ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
JURUSAN
TEKNIK PERTAMBANGAN
LAPORAN
FIELD TRIP GEOLOGI FISIK
STUDI
GEOLOGI FISIK BATUAN PENYUSUN DAERAH MOTUI
KABUPATEN
KONAWE UTARA
PROVINSI
SULAWESI TENGGARA
Diajukan
sebagai salah satu syarat kelulusan mata kuliah Geologi Fisik pada
JurusanTeknik
Pertambangan
Fakultas
Ilmu dan Teknologi Kebumian
MUHAMMAD ALI HUSEIN
R1D1 16 098
KENDARI
2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis berhasil menyelesaikan Laporan Lapangan Field Trip Geologi fisik ini yang syukur dan alhamdulillah selesai tepat pada waktunya.
Dalam proses penyusunan laporan ini,
penulis banyak mengalami kesulitan. Namun berkat bantuan dan bimbingan dari
beberapa pihak, terutama kepada yang terhormat dosen pembimbing Genesa Bahan
Galian Bapak Erwin Anshari, S.Si, M.Eng.
serta kepada para asisten yang memberikan bimbingan dan koreksi sehingga
laporan ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima
kasih serta penghargaan sebesar-besarnya, dan semoga Tuhan yang maha Esa dapat
melimpahkan Rahmat-Nya atas segala amal yang dilakukan.
Penulis menyadari bahwa laporan ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan laporan ini.
Akhir kata, penulis sampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan laporan ini
dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan yang maha Esa senantiasa meridhoi segala
usaha yang telah dilakukan.
Kendari, 22 November 2016
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sulawesi
dan daerah sekitarnya terletak pada pertemuan tiga lempeng yang saling
bertabrakan; Lempeng Benua Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik yang
bergerak ke barat dan Lempeng Australia-Hindia yang bergerak ke utara, sehingga
kondisi tektoniknya sangat kompleks, dimana kumpulan
batuan dari busur kepulauan, batuan bancuh, ofiolit,
dan bongkah dari mikrokontinen terbawa bersama proses
penunjaman, tubrukan, serta proses tektonik lainnya. Adapun struktur geologi
yang berkembang didominasi sesar-sesar mendatar,
dimana mekanisme pembentukan struktur geologi Sulawesi bisa dijelaskan
dengan model simple shear.
Pulau
Sulawesi adalah pulau di negara Indonesia yang mempunyai batuan penyusun paling
kompleks diantara batuan penyususun pulau-pulau yang lain. Dari beberapa
provinsi di wilayah Sulawesi itu sendiri , salah satu daerah yang memiliki
struktur geologi yang kompleks adalah Sulawesi tenggara. Daerah Sulawesi
tenggara merupakan bagian dari kepingan benua kepulauan. Meski demikian ada
beberapa daerah yang temasuk dalam Sulawesi tenggara yang struktur geologinya
masih berkaitan erat dengan proses-proses geologi yang ada di mandala timur yang
terkenal dengan kompleks ofiolitnya.
Telah
banyak para ilmuan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri yang memiliki
rasa ingin tahu yang besar tentang batuan penyusun daerah Sulawesi Tenggara.
Hal ini tidak terlepas dari pengetahuan awal dari asumsi bahwa daerah-daerah
yang dilalui atau dekat dengan jalur ring of fire pasti memiliki
batuan penyusun serta kandungan mineral ekonomis yang beragam. Olehnya itu,
mahasiswa kebumian yang baru harus pula mengikuti jejak para peneliti terdahulu
salah satunya dengan meneliti langsung batuan penyusun daerah Sulawesi
Tenggara. Dilakukannya praktikum lapangan supaya mahasiswa kebumian dapat
mengamati sendiri singkapan batuan, dan dapat menegetahui mineral apa saja yang
terkandung dalam batuan sehingga dapat menjelaskan genesa dan karakteristik
batuan dengan benar berdasarkan pengematan yang dilakukan dilapangan.
Kabupaten
Konawe Utara terkenal akan kandungan laterit nikel yang melimpah dengan batuan
asal, adalah batuan beku ultrabasa. Dari fakta tersebut, mahasiswa yang
melakukan praktikum akan melihat langsung kandungan laterit nikel pada daerah
penelitian yang juga telah menjad lahan terbuka pertambangan nikel di Kabupaten
Konawe Utara.
1.2. Maksud dan Tujuan
1.2.1 Maksud
Maksud
penulisan laporan ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah geologi fisik dan mengumpulkan data-data geologi daerah
Motui, konawe utara yang dapat diperoleh baik dari peta topografi maupun dari
lapangan.
1.2.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan laporan ini adalah :
1. Mempelajari
karakteistik geologi daerah Motui, konawe utara.
2. Mengetahui
proses-proses geomorfologi yang telah ataupun sedang berkembang di daerah Motui, konawe utara.
3. Menentukan
dan mengelompokkan satuan batuan daerah Motui, konawe utara.
1.3.
Letak, Waktu dan
Kesampaian daerah
Praktikum lapangan Geologi Fisik dilaksanakan pada
hari sabtu tanggal 19 November 2016. Perjalanan ke lapangan di Desa Matandahi
kecamatan Motui, dimulai dari gedung jurusan Fakultas Ilmu Dan Teknologi
Kebumian (FITK) menggunakan 2 (dua) unit
Bus trans lulo. Untuk sampai pada stasiun pertama di lapangan membutuhkan waktu
sekitar 2 jam. Di lapangan terdapat 5 singkapan batuan yang akan diideskripsi
serta sebuah lahan pertambangan untuk mengambil sampel angkatan. Semua peserta
praktikan beserta asisten pendamping dan dosen berjalan menuju stasiun 1 dengan
waktu sekitar 10 menit. Dari stasiun 1 menuju stasiun 2 membutuhkan waktu
sekitar 40 menit. Dari stasiun 2 menuju stasiun 3 membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Dari stasiun 3 menuju stasiun 4 membutuhkan
waktu sekitar 10 menit. dan yang terakhir sebelum sampai pada tempat
peristirahatan yaitu dari stasiun 4 ke stasiun 5 membutuhkan waktu sekitar 15
menit. sekitar pukul 13.00 samua praktikan, dosen dan asisten telah sampai di
balai desa Bende sebagai tempat istirahat. Identifikasi perstasiun membutuhkan
waktu sekitar 10-20 menit. Sekitar pukul 14.30, perwakilan dari tiap-tiap
kelompok ditemani beberapa asisten pendamping pergi menuju area pertambangan
untuk mengambil sampel angkatan
1.4.
Alat dan bahan
1.4.1.
Tabel alat dan bahan
Table 1.1 Alat dan bahan beserta kegunaannya
No.
|
Alat dan bahan
|
Kegunaan
|
1.
|
Kompas
|
Sebagai alat penunjuk arah, penentuan strike,
dip,dan arah penyebaran batuan
|
2.
|
Palu Geologi
|
Sebagai alat untuk mengambil sampel
|
3.
|
GPS
|
Sebagai alat untuk menentukan titik koordinat
|
4.
|
Spidol
|
Sebagai alat untuk
menulis keterangan sampel
|
5.
|
Kantong Sampel
|
Wadah untuk menyimpan sampel berupa batuan
|
6.
|
Karung
|
Wadah untuk mengumpulkan sampel yang telah di
Identifikasi
|
7.
|
Buku Lapangan
|
Untuk menulis hasil identifikasi batuan.
|
9.
|
Klip Board
|
Sebagai penyangga kompas.
|
11.
|
Laptop
|
Untuk menulis data lapangan dan laporan lapangan.
|
12
|
HCL
|
Untuk mendeteksi kandungan mineral karbonat pada
batuan
|
1.5. Peneliti Terdaluhu
Adapun
nama-nama peneliti terdahulu adalah sebagai berikut :
1. Rusman, E Sukido, Sukarna. D. Haryono, E, Simanjuntak
T.O 1993. Keterangan Peta Geologi lembar Lasusua-Kendari, Sulawesi Tenggara,
skala 1 : 250.000.
2. Surono dan Bachri S., 2001 Stratigraphy,
Sedimentation, and Paleogeographic Significance of the Triassic Meluhu
pormation, southeast arm of Sulawesi, eastern Indonesia Geological research and
development center.
3. Sukamto, R. 1975. Struktural of Sulawesi in the light
of Plate Tektonik. Dept. of Mineral and Energi.
4. Surono, 2013. Geologi lengan Tenggara Sulawesi. Badan
geologi. Kementrian energi dan sumber daya mineral.
BAB 2
GEOLOGI REGIONAL
2.1 Geomorfologi Regional
Gambar
2.1 Peta Pulau Sulawesi
Pulau
Sulawesi, yang mempunyai luas sekitar 172.000 km2 (van Bemmelen,
1949), dikelilingi oleh laut yang cukup dalam. Sebagian besar daratannya
dibentuk oleh pegunungan yang ketinggiannya mecapai 3.440 m (gunung
Latimojong). Seperti telah diuraikan sebelumnya, Pulau Sulawesi berbentuk huruf
“K” dengan empat lengan: Lengan Timur memanjang timur laut – barat daya, Lengan
Utara memanjang barat – timur dengan ujung baratnya membelok kearah utara –
selatan, Lengan tenggrara memanjang barat laut – tenggara, dan Lengan Selatan
mebujur utara selatan. Keempat lengan tersebut bertemu pada bagian tengah
Sulawesi.
Sebagian
besar Lengan Utara bersambung dengan Lengan Selatan melalui bagian tengah
Sulwesi yang merupakan pegunungan dan dibentuk oleh batuan gunung api. Di ujung
timur Lengan Utara terdapat beberapa gunung api aktif, di antaranya Gunung
Lokon, Gunung Soputan, dan Gunung Sempu. Rangakaian gunung aktif ini menerus
sampai ke Sangihe. Lengan Timur merupakan rangkaian pegunungan yang dibentuk
oleh batuan ofiolit. Pertemuan antara Lengan Timur dan bagian Tengah Sulawesi
disusun oleh batuan malihan, sementara Lengan Tenggara dibentuk oleh batuan
malihan dan batuan ofiolit.
Seperti
yang telah di uraikan sebelumnya,pulau Sulawesi dan daerah sekitarnya merupakan
pertemuan tiga lempeng yang aktif bertabrakan.Akibat tektonik aktif ini,pulau
Sulawesi dan daerah sekitarnya dipotong oleh sesar regional yang masih aktif
sampai sekarang.Kenampakan morfologi dikawasan ini merupakan cerminan system
sesar regional yang memotong pulau ini serta batuan penyusunya bagian tenga Sulawesi,lengan tenggara,dan
lengan selatan dipotong oleh sesar regional yang umumnya berarah timur laut –
barat daya.
2.1.1 Morfologi
Van
Bemmelen (1945) membagi lengan tenggara Sulawesi menjadi tiga bagian: ujung
utara, bagian tengah,dan ujung selatan (gambar 3.1), Ujung utara mulai dari
palopo sampai teluk tolo; dibentuk oleh batuan ofiolit, Bagian tengah ,yang
merupakan bagian paling lebar (sampai 162,5 km), didominasi oleh batuan malihan
dan batuan sedimen mesozoikum. Ujung selatan lengan tenggara merupakan bagian
yang relative lebih landai ; batuan penyusunya didominasi oleh batuan sedimen
tersier ,uraian dibawah ini merupakan perian morfologi dan morfogenesis lengan
tengah Sulawesi.
2.1.2
Ujung utara
Ujung
utara lengan tenggara Sulawesi mempunyai cirri khas de3ngan munculnya kompleks
danau malili yang terdiri atas danau
matano,danau towuti,dan tiga danau kecil disekitarnya (danam mahalona,danau
lantoa, dan danau masapi; pembentuka kelima danau itu diduga akibat sistem
system sesar matano,yang telah diketahui sebagai sesar geser mengiri. Pembedaan
ketinggian dari kelima danau itu memungkinkan air dari
suatu danau mengalir ke danau yang terletak lebih rendah.
2.1.3
. Bagian Tengah
Morfologi
bagian tengah Lengan Tenggara Sulawesi didominasi oleh pegunungan yang umumnya
memanjang hampir sejajar berarah barat laut - tenggara. Pegunungan tersebut
diantaranya adalah Pegunungan Mengkoka, Pegunungan Tangkelamboke, dan
Pegunungan Matarombeo. Morfologi bagian tengah ini sangat kasar dengan
kemiringan lereng yang tajam. Puncak tertinggi pada rangkaian pegunungan
Mengkoka adalah Gunung Mengkoka yang mempunyai ketinggian 2790 m dpl.
Pegunungan Tangkelamboke mempunyai puncak Gunung Tangkelamboke (1500 m dpl).
Sedangkan Pegunungan Matarombeo berpuncak di barat laut Desa Wawonlondae dengan
ketinggian 1551 m dpl.
2.1.4.
Satuan Morfologi
Setidaknya
ada lima satuan morfologi yang dapat dibedakan dari citra IFSAR bagian tengah
dan ujung selatan Lengan Tenggara Sulawesi, yakni satuan pegunungan, perbukitan
tinggi, perbukitan rendah, dataran rendah, dan karst. Uraian di bawah ini
merupakan perian secara singkat dari kelima satuan morfologi tersebut.
2.1.4.1. Satuan Pegunungan
Satuan
morfologi pegunungan menempati bagian terluas di kawasan ini, terdiri atas
Pegunungan Mengkoka, Pegunungan Tangkelemboke, Pegunungan Mendoke dan
Pegunungan Rumbia yang terpisah di ujung selatan Lengan Tenggara. Satuan
morfologi ini mempunyai topografi yang kasar dengan kemiringan lereng tinggi.
Rangkaian pegunungan dalam satuan ini mempunyai pola yang hampir sejajar
berarah barat laut – tenggara. Arah ini sejajar dengan pola struktur sesar
regional di kawasan ini. Pola ini mengindikasikan bahwa pembentukan morfologi
pegunungan itu erat hubungannya dengan sesar regional.
Satuan
pegunungan terutama dibentuk oleh batuan malihan dan setempat oleh batuan
ofiolit. Ada perbedaan yang khas di antara kedua penyusun batuan itu.
Pegunungan yang disusun oleh batuan ofiolit mempunyai punggung gunung yang
panjang dan lurus dengan lereng relatif lebih rata, serta kemiringan yang
tajam. Sementara itu, pegunungan yang dibentuk oleh batuan malihan, punggung
gunungnya terputus pendek-pendek dengan lereng yang tidak rata walaupun
bersudut tajam.
2.1.4.2. Satuan Perbukitan
Tinggi
Satuan
morfologi perbukitan tinggi menempati bagian selatan Lengan Tenggara, terutama
di selatan Kendari. Satuan ini terdiri atas bukit-bukit yang mencapai
ketinggian 500 m dpl dengan morfologi kasar. Batuan penyusun morfologi ini
berupa batuan sediman klastika Mesozoikum dan Tersier.
2.1.4.3. Satuan Perbukitan
Rendah
Satuan
morfologi perbukitan rendah melampar luas di Utara Kendari dan ujung selatan
Lengan Tenggara Sulawesi. Satuan ini terdiri atas bukit kecil dan rendah dengan
morfologi yang bergelombang. Batuan penyusun satuan ini terutama batuan sedimen
klastika Mesozoikum dan Tersier
2.1.4.4.
Satuan Dataran
Satuan
morfologi dataran rendah dijumpai di bagian tengah ujung selatan Lengan
Tenggara Sulawesi. Tepi selatan Dataran Wawotobi dan Dataran Sampara berbatasan
langsung dengan satuan morfologi pegunungan. Penyebaran satuan dataran rendah
ini tampak sangat dipengaruhi oleh sesar geser mengiri (Sesar Kolaka dan Sistem
Sesar Konaweha). Kedua sistem ini diduga masih aktif, yang ditunjukkan oleh
adanya torehan pada endapan aluvial dalam kedua dataran tersebut (Surono dkk,
1997). Sehingga sangat mungkin kedua dataran itu terus mengalami penurunan.
Akibat dari penurunan ini tentu berdampak buruk pada dataran tersebut, di
antaranya pemukiman dan pertanian di kedua dataran itu akan mengalami banjir
yang semakin parah setiap tahunnya.
Dataran
Langkowala yang melampar luas di ujung selatan Lengan Tenggara, merupakan
dataran rendah. Batuan penyusunnya terdiri atas batupasir kuarsa dan
konglomerat kuarsa Formasi Langkowala. Dalam dataran ini mengalir sungai-sungai
yang pada musim hujan berair melimpah
sedang pada musim kemarau kering. Hal ini mungkin disebabkan batupasir dan
konglomerat sebagai dasar sungai masih lepas, sehingga air dengan mudah
merembes masuk ke dalam tanah. Sungai tersebut di antaranya Sungai Langkowala
dan Sungai Tinanggea. Batas selatan antara Dataran Langkowala dan Pegunungan
Rumbia merupakan tebing terjal yang dibentuk oleh sesar berarah hampir
barat-timur. Pada Dataran Langkowala, terutama di dekat batas tersebut,
ditemukan endapan emas sekunder. Surono (2009) menduga emas tersebut berasal
dari batuan malihan di Pegunungan Rumbia dan sekitarnya.
2.1.4.5. Satuan Karst
Satuan
morfologi karst melampar di beberapa tempat secara terpisah. Satuan ini
dicirikan perbukitan kecil dengan sungai di bawah permukaan tanah. Sebagian
besar batuan penyusun satuan morfologi ini didominasi oleh batugamping berumur
Paleogen dan selebihnya batugamping Mesozoikum. Batugamping ini merupakan
bagian Formasi Tampakura, Formasi Laonti, Formasi Tamborasi dan bagian atas
dari Formasi Meluhu. Sebagian dari batugamping penyusun satuan morfologi ini
sudah terubah menjadi marmer. Perubahan ini erat hubungannya dengan
pensesar-naikkan ofiolit ke atas kepingan benua. Di sekitar Kendari batugamping
terubah tersebut ditambang untuk bahan bangunan.
2.2 Stratigrafi Regional
Gambar
2.2 Stratigrafi Regional Sulawesi
Formasi
Meluhu diberikan oleh Rusmana & Sukarna (1985) kepada satuan batuan yang
terdiri batupasir kuarsa, serpih merah, batulanau, dan batulumpur di bagian
bawah; dan perselingan serpih hitam, batupasir, dan batugamping di bagian atas.
Formasi Meluhu menindih takselarasan batuan malihan dan ditindih takselaras
oleh satuan batugamping Formasi Tampakura.
Formasi Meluhu mempunyai penyebaran yang
sangat luas di Lengan Tenggara Sulawesi. Formasi ini telah dipublikasikan
secara luas; di antaranya oleh Surono dkk. (1992); Surono (1997b, 1999), serta
Surono & Bachri (2002), Sebagian besar bahasan selanjutnya merupakan
terjemahan dan/atau kompilasi dari publikasi tersebut.
Surono (1997b) membagi Formasi Meluhu
menjadi tiga anggota (dari bawah ke atas):
ร Anggota
Toronipa yang didominasi oleh batupasir dan konglomerat,
ร Anggota
Watutaluboto didominasi oleh batulumpur, batulanau, dan serpih,
ร Anggota
tuetue dicirkan oleh hadirnya napal dan batu gamping.
2.3
Struktur Geologi Regional
Gambar
2.3 Struktur Regional dan Tektonik Sulawesi
Seperti
telah diuraikan sebelumnya Lengan Tenggara Sulawesi termasuk kawasan pertemuan
dua lempeng, yakni lempeng benua yang berasal dari Australia dan lempeng
samudera dari Pasifik. Kepingan benua di Lengan Tenggara Sulawesi dinamai
Mintakat Benua Sulawesi Tenggara (South
east Sulawesi Continental Terrane) dan Mintakat Matarombeo oleh Surono
(1994). Kedua lempeng dari jenis yang berbeda ini bertabrakan dan kemudian
ditindih oleh endapan Molasa Sulawesi. Sebagai akibat subduksi dan tumbukan
lempeng pada Oligosen Akhir – Miosen Awal, Kompleks ofiolit tersesar-naikkan ke
atas Mintakat Benua. Molasa Sulawesi, yang terdiri atas batuan sedimen klastik
dan karbonat, terendapkan selama akhir dan sesudah tumbukan, sehingga, Molasa
ini menindih takselaras Mintakat Benua
Sulawesi Tenggara dan Kompleks Ofiolit tersebut. Pada akhir kenozoikum lengan
ini dikoyak oleh sesar Lawanopo dan beberapa pasangannya, termasuk Sesar
Kolaka.
2.3.1.
Parit Sulawesi Utara
Parit
Sulawesi Utara yang memanjang barat-timur, merupakan zona benioff, tempat Kerak Laut Sulawesi menunjam di bawah Lengan Utara
Sulawesi mulai pada akhir Paleogen (Fitch, 1970; Katili, 1971; Cardwell &
Isack, 1978; Hamilton, 1979; McCaffrey dkk, 1983). Subduksi ini mencapai puncaknya pada Neogen. Namun demikian, hasil
analisis seismologi menunjukkan bahwa Parit Sulawesi Utara ini sudah menyurut
aktivitasnya (McCaffrey dkk, 1983; Kertapati dkk, 1992). Simandjuntak (1988;
dalam Darman dan Sidi, 2000) menduga bagian timur parit ini menunjukkan gejala
aktif kembali ditandai aktivitas vulkanisme di ujung timur dan daerah sekitar
Lengan Utara.
2.3.2.
Sistem Sesar Palu-Koro
Nama
sesar Palu-Koro diusulkan pertama kali oleh Sarasin (1901) yang kemudian
diulangi oleh Rutten (1927). Sistem sesar ini menorah mulai ujung utara Selat
Makassar, melaui Kota Palu dan menerus
sampai Teluk Bone. Hasil pemetaan geologi yang dilakukan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi (sekarang menjadi Pusat Survei Geologi) menunjukkan bahwa
sistem sesar ini berhubungan juga dengan Sesar Matano dan Sesar Lawanopo
(Simandjuntak dkk, 1993a, b, c, d; Rusmana, dkk,1993; Sukamto, 1975a; Rusmana
dkk, 1993).
Gerakan
horizontal dan vertikal Sesar Palu-Koro telah dianalisis oleh beberapa penulis
Van Bemmelen (1970) dan Katili (1978) setuju bahwa bagian utara sesar ini
didominasi oleh gerakan vertikal, sedangkan bagian selatannya oleh gerakan
horizontal mengiri. Kecepatan gerakan horizontal, yang dianalisis oleh beberapa
penulis, hasilnya berbeda, misalnya sudradjat (1981, dalam Darman & Sidi,
2000) 2-3,5 mm sampai 14-17 mm/tahun; Indriastuti (1990, dalam Darman &
Sidi, 2000) 1,23 mm/tahun. Sementara itu, kecepatan gerakan vertical, yang
dihitung berdasarkan pengangkatan koral,
adalah 4,5 mm/tahun (Tjia & Zakaria, 1974), dan 3,4 mm/tahun
(Walpersdoft dkk, 1997; dalam Darman & Sidi, 2000). Sistem Sesar Palu-Koro
walaupun didominasi oleh gerakan horizontal mengiri, juga secara setempat
membentuk tinggian dan rendahan. Bentuk rendahan semacam cekungan dapat
dikenali Danau Matano, Danau Poso, dan Lembah Palu.
2.3.3.
Sesar Naik Batui
Sesar
Naik Batui merupakan hasil tumbukan antara Kepingan Benua Banggai-Sula dengan
Lajur Ofiolit Sulawesi Timur; kepingan tersebut naik terhadap lajur ofiolit.
Sesar naik ini menorah ujung Lengan Timur Sulawesi sampai Teluk Tolo dan
bertemu dengan perpanjangan Sesar Matano, yang dinamai Sesar Manui oleh Gerrard
dkk. (1988).
Sesar
Naik Batui ini dipotong oleh beberapa sesar geser yang hadir belakangan, di
antaranya Sesar Toili, Ampana, dan Wekuli (Simandjuntak, 1986; Rusmana dkk,
1993; Surono ddk, 1993). Berdasarkan rekaman seismik sesar naik ini mengalami
pengaktifan kembali (McCaffrey dkk, 1983; Kertapati dkk, 1992). Endapan teras
terumbu koral Kuarter yang tersebar mulai Batui sampai ujung Lengan Timur
Sulawesi (Rusmana dkk, 1993; Surono dkk, 1993) menunjukkan bahwa paling tidak
ada tiga kali periode pengangkatan. Besar kemungkinan pengangkatan terumbu
koral tersebut diakibatkan karena kegiatan Naik Sesar Batui.
2.3.4 Sesar Naik Poso
Sesar
Naik Poso memanjang utara-selatan, mulai
dari Tanjung Peindilisa di Teluk Tomini sampai Masamba di pantai utara
Teluk Bone (Sukamto, 1975a; Simandjuntak dkk, 1993b;d). Sesar naik ini
memisahkan Lajur Malihan Sulawesi Tengah di bagian timur dengan Lajur Vulkanik
Sulawesi Barat di barat.
Berdasarkan
hasil rekaman seismik, Kertapati dkk, (1992) menduga saat ini Sesar Naik Poso
dalam keadaan tidak aktif. Namun demikian, gempa yang terjadi di bagian barat
Teluk Tomini beberapa waktu lalu memungkinkan paling tidak ujung utara sesar
tersebut teraktifkan kembali (Darman & Sidi, 2000).
2.3.5 Sesar Walanae
Sesar
Walanae, yang berarah hampir utara-selatan, menorah Lengan Selatan Sulawesi dan
menerus memotong Pulau Selayar yang berada di selatannya (Sukamto, 1975a;
Sukamto, R. & Supriatna, S, 1982; Sukamto, R, 1982). Bahkan Darman &
Sidi, (2000) menduga sesar ini menerus ke selatan sampai ke Sesar Naik Flores
di utara Pulau Flores. Ke arah utara Sesar tersebut mungkin menerus sampai
Selat Makassar dan bersatu dengan rantas (suture)
Paternoster-Lupar.
Sesar
Walanae teraktifkan kembali pada kuarter sehingga membentuk depresi Walanae
yang luas. Namun rekaman seismik tidak menunjukkan keaktifan sesar ini (Darman
& Sidi, 2000).
2.3.6 Tektonik Sulawesi
Berdasarkan
data geologi dan geofisika, Simandjuntak (1993 dalam Darman dan Sidi, 2000)
menyatakan bahwa Pulau Sulawesi dan daerah sekitarnya mengalami empat kali
kegiatan tektonik seperti dijelaskan di
bawah ini.
2.3.6.1. Subduksi tipe
Cordileran Kapur
Subduksi
tipe Cordileran dicirikan oleh zona Beniof yang miring kea rah barat di bagian
barat Sulawesi. Subduksi ini mengakibatkan proto-laut Banda menunjam di bawah
tepi timur Paparan Sunda. Subduksi ini juga ditandai oleh keberadaan batuan
malihan berderajat rendah berumur Kapur Akhir di Sulawesi Tengah, batuan campur
aduk (mรฉlange) berumur Kapur – Paleogen, dan Lajur Gung Api Sulawesi Barat.
Batuan endapan turbidit laut dalam berumur Kapur di Sulawesi Barat mungkin
merupakan endapan sepanjang palung.
2.3.6.2. Tumbukan divergen
Mesozoikum
Tektonik divergen pada Mesozoikum terjadi
akibat pemekaran tipe utara Benua Australia. Pemekaran pada tepi benua itu
mengakibatkan beberapa keping benua terpisah dari induknya dan kemudian
bergerak ke arah utara – utara barat ke posisi sekarang yang tersebar di
Kawasan Laut Banda. Garrad dkk, (1988) menduga proses pemisahan ini terjadi
sejak Jura. Beberapa penulis (di antaranya Simandjuntak, 1986; 1993; Garrad
dkk, 1988; Darman & Sidi, 2000) menduga pergerakan kepingan benua tersebut
melalui Sesar Sorong.
2.3.6.3. Tumbukan Tipe
Tethyan Neogen
`Sebagian
kepingan benua tersebut bertumbukan dengan kompleks subduksi Kapur dan ofiolit
di Sulawesi dan daerah sekitarnya pada Neogen. Pada kawasan ini dijumpai di
antaranya Kepingan Banggai-Sula, Kepingan Sulawesi Tenggara, Paparan Buton dan
Tukangbesi. Pada tumbukan tipe Tethyan ini kepingan benua tersebut menyusup di
bawah ofiolit dan kompleks subduksi (Darman & Sidi, 2000). Simandjuntak
(1986) menemukan batuan campur aduk (mรฉlange) sepanjang Sesar Naik Batui, di
Lengan Timur Sulawesi. Akhir dari tumbukan Neogen ini mengakibatkan Lajur
Ofiolit Sulawesi Timur Naik ke atas tepi beberapa kepingan benua tersebut.
2.3.6.4. Tumbukan Kuarter
Pada
waktu ini kawasan Sulawesi dan daerah sekitarnya menunjukkan adanya tektonik
aktif:
ร
Lajur
subduksi di utara Lengan Utara Sulawesi (North
Sulawesi Trench), tempat lempeng Laut Sulawesi menunjam masuk di bawah
Lengan Utara Sulawesi. Lajur subduksi ini berhubungan dengan sesar geser
mengiri aktif Palu-Koro, Matano, dan Lawanopo.
ร
Jalur
gunung api aktif mulai ujung utara Lengan Utara sampai ke Sangihe yang
diakibatkan oleh subduksi ganda di utara Sulawesi pada Neogen, kemudian
diaktifkan kembali oleh Kuarter.
ร
Pergerakan
ke barat Kepingan Benua Banggai-Sula menyebabkan Lajur Ofiolit Sulawesi Utara
tersesar-naikkan di atas kepingan itu.
ร
Teras
batugamping terumbu yang memanjang dari Batui sampai ujung utara Lengan Utara
Sulawesi.
BAB 3
HASIL DAN
ANALISIS DATA
Identifikasi
singkapan
Hari/tanggal : Sabtu,19 november 2016
Koordinat :
E 122° 24’ 25,87” , S 03° 55’ 59,49”
Cuaca :
Cerah
Lokasi :
Paku Jaya
Data
struktur :
Strike N 132°E Dip 54°W
Deskripsi
batuan
Jenis
batuan :
Batuan sedimen
Warna
Segar :
Merah kecoklatan
Lapuk : Coklat
kekuningan
Tekstur
Ukuran butir : lanau (1/16 – 1/256)
Bentuk
: Angular
Sortasi : Terpilah Baik
Kemas : Terbuka
Porositas :
Baik
Permeabilitas : Baik
Struktur
:
Berlapis
Nama
batuan :
BatuLanau
3.2 STASIUN 2
Gambar singkapan 3.2.1 Gambar skesta 3.2.2
Identifikasi
singkapan
Hari/tanggal : Sabtu, 19 November 2016
Kordinat : E 122°24’37” S
03°55’49”
Cuaca : Cerah
Lokasi : Motui
Data stuktur : -
Deskripsi
batuan
Jenis
batuan : Sadiman Non Klastik
Warna
Segar : Biru Keabu-abuan
Lapuk :
Coklat
Tekstur : Amorf
Struktur : Masif
Nama Batuan
: Batu Gamping
Keterangan
: Tidak Bereaksi dengan HCL
3.3 STASIUN 3
Gambar singkapan 3.2.1 Gambar skesta 3.3.2
Identifikasi
singkapan
Hari/tanggal : Sabtu,19 november 2016
Kordinat : E 122° 26’ 02” S 03°
50’ 19”
Cuaca : Cerah
Lokasi : Motui
Data struktur : -
Deskripsi
batuan
Jenis
batuan : Batuan
Beku
Warna
Segar : Abu-Abu
Lapuk : Coklat Keputihan
Tekstur
Kristalinitas
: Holokristalin
Granulitas : Faneritik
Fabrik :
Bentuk : Euhedral
Relasi : Equigranular
Struktur : Masif
Nama batuan : Batu Peridotit
3.4 STASIUN 4
Gambar singkapan 3.4.1
Gambar skesta 3.4.2
Identifikasi
singkapan
Hari/tanggal : Sabtu,19 november 2016
Kordinat : E 122° 26’ 07” S 03°
50’ 49”
Cuaca : Cerah
Lokasi : Motui
Data
struktur : -
Deskripsi
batuan
Jenis
batuan : Batuan Beku
Warna
Segar : Abu-Abu
Lapuk : Coklat Keputihan
Tekstur
Kristalinitas
: Holokristalin
Granulitas : Faneritik
Fabrik :
Bentuk : Eubhedral
Relasi : Equigranular
Struktur : Masif
Nama batuan : Batu Peridotit
3.5 STASIUN 5
Gambar singkapan 3.5.1
Gambar skesta 3.5.1
Identifikasi
singkapan
Hari/tanggal : Sabtu,19 november 2016
Kordinat : E 122° 36’ 02” S 03°
00’ 26”
Cuaca : Cerah
Lokasi : Motui
Data
struktur : -
Deskripsi
batuan
Jenis
batuan : Batuan Beku
Warna
Segar : Abu-Abu
Lapuk : Coklat Keputihan
Tekstur
Kristalinitas
: Holokristalin
Granulitas : Faneritik
Fabrik :
Bentuk : Euhedral
Relasi : Equigranular
Struktur : Masif
Nama batuan : Batu Peridotit
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1
STASIUN 1
Dijumpai singkapan batuan
didaerah paku jaya dengandimensi 15x8m dan titik koordinat E 122° 24’ 25,87” , S 03°
55’ 59,49” berjenis batuan sedimen klastik.
Singkapan batuan ini memiliki arah penyebaran dari arah tenggara sampai dengan
arah barat laut. Batuan dari singkapan ini memiliki hubungan yang selaras
dengan batuan lainnya didaerah sekitarnya. Selain itu, batuan ini bersifat
insitu karena masih didalam daerah induknya dengan tingkat pelapukan sedang.
Setelah itu, kami melakukan identifikasi batuan secara megaskopis pada batuan
yang berjenis batuan sedimen klastik ini dan mendapatkan hasil. Hasil yang
diperoleh adalah batuan dengan ciri fisik, warna segar berwarna merah dan warna
lapuknya berwarna kuning kecoklatan. Batuan ini memiliki ukuran butir 1/16 –
1/256 (lanau) menurut skala wentworth dan bentuk dari butirnya berbentuk
angular. Batuan ini memiliki pilahan sortasi yang baik karena adanya
keseragaman ukuran butir dari batuan tersebut. Kemas dari batuan ini tertutup
sehingga kemampuan meloloskan air dan daya serap air batuan yang saling
berbanding lurus rendah. Memiliki struktur yang berlapis. Dari hasil
identifikasi yang telah diperoleh dapat disimpulkan bahwa batuan berjenis
sedimen klastik ini memiliki ciri fisik yang cocok dengan batuan bernama batu
lanau.
Batu lanau yang diperoleh merupakan bagian dari
singkapan batuan yang memiliki relief curam dan bertipe morfologi sebagai
perbukitan dengan Strike N 132⁰ E dan Dip 54⁰ W. Soil dari singkapan batuan ini
adalah residual karna tanah yang berada didaerah batuan merupakan hasil
pelapukan dari singkapan batuan itu sendiri. Tata guna lahan singkapan ini
adalah sebagai jalan
4.2
STASIUN 2
Dijumpai sebuah
singkapan dideaerah Motui bertitik koordinat E 122°24’37” S
03°55’49” dengan dimensi 5x3 m. Jenis
batuan yang terdapat pada sigkapan ini adalah batuan sedimen non-klastik.
Batuan pada singkapan ini tidak memiliki hubungan dengan batuan lain didaerah
sekitarnya serta bersifat insitu karena masih berada didaerah batuan induknya.
Batuan dari singkapan ini memiliki ciri fisik dengan warna segar berwarna biru
keabu-abuan dan warna lapuk berwarna coklat. Batuan ini tidak memiliki
kenampakan Kristal sehingga memiliki tekstur amorf. Batuan ini memiliki
struktur massif dan tidak memiliki reaksi terhadap Hcl. Dari ciri fisik yang
diperoleh dapat disimpulkan bahwa batuan sedimen non-klastik ini bernama batu
gamping.
Baru gamping ini
terdapat pada singkapan berrelief curam dan memiliki tipe morfologi perbukitan.
Arah penyebaran batuan ini tersebar dari arah barat barat laut kea rah timur
menenggara. Tanah (soil) didaerah batuan ini merupakan hasil transportasi dari
daerah lain sehingga berjenis transported. Singkapan batuan ini memiliki tata
guna lahan sebagai hutan.
4.3
STASIUN 3
Dijumpai singkapan
batuan berlokasi di daerah Motui dengan titik koordinat E
122° 26’ 02” S 03° 50’ 19” berdimensi 5x3
m. Batuan ini berjenis batuan beku yang bersifat insitu dan tidak memiliki
hubungan dengan batuan lain didaerah sekitarnya. Kemudian kami melakukan
identifikasi pada batuan ini secara megaskopis dan mendapatkan hasil dengan
ciri fisik berwarna segar warna biru keabu-abuan dan warna lapuk coklat. Batuan
ini memiliki tingkat kristalinitas holokristalin yang keseluruhan batuannya
dikelilingi oleh kristal. Granulitas dari batuan ini adalah faneritik karena
ukuran butir pada batuan ini dapat dilihat oleh kasat mata. sedangkan, untuk
bentuk fabrik batuan ini adalah euhedral karena memiliki bentuk kristal yang sempurna dan seluruh bidangnya terlihat jelas. Batuan ini
memiliki relasi equigranular karena ukuran butirnya yang seragam dan memiliki
struktur masif. Batuan ini memiliki kandungan mineral olivine dengan bentuk
memipih panjang dan berwarna hijau, piroksin berwarna hijau, ampibhol berwarna
hijau dan berbentuk memipih pendek, dan biotit berwarna hitam dan berbentuk
memipih, serta mineral kuarsa berwarna putih dan berbentuk prismatik. Dari
hasil identifikasi yang telah diperoleh dapat disimpulkan bahwa batuan beku ini
memiliki nama batu peridotit.
Batu peridotit ini terdapat pada singkapan dengan tingkat
relief yang curam dan memiliki tipe morfologi perbukitan. Untuk tingkat
pelapukan batuannya, batuan ini memiliki tingkat pelapukan dari sedang sampai
tinggi. Soil dari batuan ini memiliki soil berjenis residual dan memiliki tata
guna lahan sebagai hutan
4.4
STASIUN 4
Dijumpai singkapan
batuan berlokasi di daerah Motui dengan titik koordinat E
122° 26’ 07” S 03° 50’ 49” berdimensi 12x8
m. Batuan ini berjenis batuan beku yang bersifat insitu dan tidak memiliki
hubungan dengan batuan lain didaerah sekitarnya. Kemudian kami melakukan
identifikasi pada batuan ini secara megaskopis dan mendapatkan hasil dengan
ciri fisik berwarna segar warna biru keabu-abuan dan warna lapuk coklat. Batuan
ini memiliki tingkat kristalinitas holokristalin yang keseluruhan bagian
batuannya dikelilingi oleh kristal. Granulitas atau ukuran butir dari batuan
ini adalah faneritik karena ukuran butir pada batuan ini dapat dilihat oleh
kasat mata. sedangkan, untuk bentuk fabrik batuan ini adalah euhedral karena
memiliki bentuk kristal yang sempurna
dan seluruh bidangnya terlihat jelas. Batuan ini memiliki relasi
equigranular,dimana ukuran butirnya yang seragam, serta batuan ini memiliki
struktur masif. Batuan ini memiliki kandungan mineral olivine dengan bentuk
memipih panjang dan berwarna hijau, piroksin berwarna hijau, ampibhol berwarna
hijau dan berbentuk memipih pendek, dan biotit berwarna hitam dan berbentuk
memipih, serta mineral kuarsa berwarna putih dan berbentuk prismatik. Dari
hasil identifikasi yang telah diperoleh dapat disimpulkan bahwa batuan beku ini
memiliki nama batu peridotit.
Batu peridotit ini terdapat pada singkapan dengan
tingkat relief yang curam dan memiliki tipe morfologi perbukitan. Untuk tingkat
pelapukan batuannya, batuan ini memiliki tingkat pelapukan dari sedang sampai
tinggi. Soil atau tanah dari batuan ini memiliki soil berjenis residual yang
merupakan tanah hasil dari pelapukan batu itu sendiri, dan memiliki tata guna
lahan sebagai hutan.
4.5
STASIUN 5
Dijumpai singkapan
batuan berlokasi di daerah Motui dengan titik koordinat E
122° 36’ 02” S 03° 00’ 26” berdimensi 15x8
m. Batuan ini berjenis batuan beku yang bersifat insitu dan tidak memiliki
hubungan dengan batuan lain didaerah sekitarnya. Setelah itu, kami melakukan
identifikasi pada batuan ini secara megaskopis dan mendapatkan hasil dengan
ciri fisik batuan berwarna segar warna biru keabu-abuan dan warna lapuk coklat.
Batuan ini memiliki tingkat kristalinitas holokristalin yang merupakan
keseluruhan batuannya dikelilingi oleh kristal. Granulitas (ukuran butir) dari
batuan ini adalah faneritik karena butir pada batuan ini dapat dilihat oleh
kasat mata. sedangkan, untuk bentuk fabrik batuan ini adalah euhedral karena
memiliki bentuk kristal yang sempurna
dan seluruh bidangnya terlihat jelas. Batuan ini memiliki relasi
equigranular karena ukuran butirnya yang seragam dan memiliki struktur masif.
Batuan ini memiliki kandungan mineral olivine dengan bentuk memipih panjang dan
berwarna hijau, piroksin berwarna hijau, ampibhol berwarna hijau dan berbentuk
memipih pendek, dan biotit berwarna hitam dan berbentuk memipih, serta mineral
kuarsa berwarna putih dan berbentuk prismatik. Dari hasil identifikasi yang
telah diperoleh dapat disimpulkan bahwa batuan beku ini memiliki nama batu
peridotit.
Batu peridotit ini terdapat pada singkapan dengan
tingkat relief yang curam dan memiliki tipe morfologi perbukitan. Untuk tingkat
pelapukan batuannya, batuan ini memiliki tingkat pelapukan dari sedang sampai
tinggi. Soil dari batuan ini memiliki soil berjenis residual dan memiliki tata
guna lahan sebagai hutan
BAB 5
BAHAN DISKUSI
5.1
BATUBAUKSIT
Bauksit ( bahasa
Inggris : bauxite ) adalah biji utama aluminium terdiri dari hydrous aluminium
oksida dan aluminium hidroksida yakni dari mineral gibbsite Al(OH)3, boehmite
ฮณ-ALO (OH), dan diaspore ฮฑ-ALO (OH), bersama-sama dengan oksida besi goethite
dan bijih besi, mineral tanah liat kaolinit dan sejumlah kecil anatase Tio 2 .
Pertama kali ditemukan pada tahun 1821 oleh geolog bernama Pierre Berthier
pemberian nama sama dengan nama desa Les Baux di selatan Perancis .
Bauksit adalah bijih
logam aluminium (Al) dan merupakan suatu koloid oksida Al dan Si yang
mengandung air. Istilah bauksit dipergunakan untuk bijih yang mengandung oksida
aluminium monohidrat atau anhidrat. Biasanya berasosiasi dengan laterit,
warnanya tergantung dari oksida besi yang terkandung dalam batuan asal. Makin
basa batuan asal biasanya makin tingggi kandungan unsure besinya, sehingga
warna dari bijih bauksit akan bertambah merah. Dialam bauksit berupa mineral
Gipsit Ahmit atau Diaspor.
Bauksit terbentuk
dari batuan yang mempunyai kadar aluminium tinggi, kadar Fe rendah dan sedikit
kadar kuarsa bebas. Mineral silikat yang terubah akibat pelapukan,
mengakibatkan unsure silika terlepas dari ikatan Kristal dan sebagian unsure besi juga terlepas. Pada
proses ini terjadi penambahan air, sedangkan alumina, bersam dengan titanium
den ferric oksida (dan mungkin manganis oksida) menjadi terkonsentrasi sebagai
endapan residu aluminium. Batuan yang memenuhi persyaratan itu antara lain
nepelin syenit, dan sejenisnya dan berasal dari batuan beku, batuan
lempung/serpih. Batuan itu akan mengalami proses lateritisasi (proses
pertukaran suhu secara terus menerus sehingga batuan mengalami pelapukan).
Secara komersial baukist terjadi dalam 3 bentuk:
·
Pissolitic atau Oolitik disebut pua ‘kernel’ yang berukuran diameter
dari sentimeter sebagai amorfous tryhidrate
·
Sponge Ore (Arkansas), porous, merupakan sisa dari batuan asal dan
komposisi utama gigsite
·
Amorphous atau bijih lempung
Bauksit digunakan
untuk bijih yang mengandung oksida aluminium monohidrat atau trihidrat. Berupa
mineral gibsit, ochmit atau diaspor. Bauksit terjadi sebagai akibat adanya
pelapukan dan material yang mengandung alumina. Endapan yang besar terjadi di
daerah-daerah beriklim tropis dan subtropis basah. Bahan pembuatan aluminium
yang terdapat di Indonesia yaitu bauksit. Bijih bauksit perlu ditambang.
Aluminium yang berasal dari bauksit banyak digunakan untuk ampelas, bahan yang
tahan api, pembuat logam, dan industri kimia. Bauksit umumnya terjadi pada
permukaan atau dekat permukaan dan merupakan letakan- letakan mendatar, maka
cara penyelidikan yang tepat dan praktis yaitu dengan membuat sumuran. Bor
tangan dapat digunakan untuk endapan yang dalam. Adapun cara penambangan bijih
bauksit yang dilakukan di Pulau Bintan adalah dengan cara penambangan terbuka.
Lapisan penutup dibuldozer. Setelah terbuka, maka bijihnya dikeruk. Bijih yang
dihasilkan ini kemudian diangkat ke tempat pencucian. Endapan bauksit di
Indonesia terdapat di Riau (Pulau Bintan), Sumatra Selatan (Pulau Bangka dan
Pulau Binton), dan Kalimantan Barat (Singkawang).
5.1.1
Proses Terjadinya Batu Bauksit
Bauksit terbentuk
dari batuan yang mengandung unsur Al. Batuan tersebut antara lain nepheline,
syenit, granit, andesit, dolerite, gabro, basalt, hornfels, schist, slate, kaolinitic,
shale, limestone dan phonolite. Apabila batuan- batuan tersebut mengalami
pelapukan, mineral yang mudah larut akan terlarutkan, seperti mineral – mineral
alkali, sedangkan mineral – mineral yang tahan akan pelapukan akan
terakumulasikan.
Bauksit terbentuk
dari batuan yang mempunyai kadar alumunium nisbi tinggi, kadar Fe rendah dan
tidak atau sedikit mengandung kuarsa (SiO¬2) bebas atau tidak mengandung sama
sekali. Bentuknya menyerupai cellular atau tanah liat dan kadang-kadang
berstruktur pisolitic. Secara makroskopis bauksit berbentuk amorf. Kekerasan
bauksit berkisar antara 1 – 3 skala Mohs dan berat jenis berkisar antara 2,5 –
2,6. . Bauksit dapat ditemukan dalam lapisan mendatar tetapi kedudukannya di
kedalaman tertentu.
Di daerah tropis, pada
kondisi tertentu batuan yang terbentuk dari mineral silikat dan lempung akan
terpecah-pecah dan silikanya terpisahkan sedangkan oksida alumunium dan oksida
besi terkonsentrasi sebagai residu. Proses ini berlangsung terus dalam waktu
yang cukup dan produk pelapukan terhindar dari erosi, akan menghasilkan endapan
lateritik. Kandungan alumunium yang tinggi di batuan asal bukan merupakan
syarat utama dalam pembentukan bauksit, tetapi yang lebih penting adalah
intensitas dan lamanya proses laterisasi.
Kondisi – kondisi
utama yang memungkinkan terjadinya endapan bauksit secara optimum adalah ;
1.
Adanya batuan yang mudah larut dan menghasilkan batuan sisa yang kaya
Alumunium.
2.
Adanya vegetasi dan bakteri yang mempercepat proses pelapukan.
3.
Porositas batuan yang tinggi, sehingga sirkulasi air berjalan dengan
mudah.
4.
Adanya pergantian musim (cuaca) hujan dan kemarau (kering).
5.
Adanya bahan yang tepat untuk pelarutan.
6.
Relief (bentuk permukaan) yang relatif rata, yang mana memungkinkan
terjadinya pergerakan air dengan tingkat erosi minimum.
7.
Waktu yang cukup untuk terjadinya proses pelapukan
5.1.2
Klasifikasi Bauksit
Berdasarkan genesanya, bijih
bauksit terbagi atas 5 yaitu, bauksit pada batuan klastik kasar, bauksit pada
terrarosa, bauksit pada batuan karbonat, bauksit pada batuan sedimen klastik
dan bauksit pada batuan fosfat. Sedangkan berdasarkan letak depositnya bauksit
terbadi atas 4 yaitu deposit bauksit residual, deposit bauksit koluvial,
deposit bauksit alluvial pada perlapisan dan deposit bauksit alluvial pada konglomerat
kasar.
5.1.3
Manfaat
Bauksit
Bijih bauksit jika diproses
dengan benar, maka akan menghasilkan alumina. Dari alumina inilah logam
aluminium dibuat. Alumina yang dielektrolisa dalam bejana cryolit cair, akan
menghasilkan logam aluminium. Sebagai bahan
industry keramik, logam dan metalurgi.
5.1.4
Syarat
Terbentuknya Bauksit
Ada beberapa syarat terbentuknya BatuBauksit, yaitu :
1. Iklim humid tropis dan subtropics
2. Batuan sumber mengandung alumina tinggi
3. Reagent yang sesuai pH dan Eh, sehingga mampu merubah
silikat
4. Infiltrasi air meteoric prmukaan secara lambat
5. kondisi bawah permukaan (larutan bawah permukaan) yang
mampu melarutkan unsure batuan yang dilaluinya
6. Sublitas tektinik yang berlangsung lama
7. Preservation
5.1.5
Metode
Eksplotasi Bauksit
Tahapan eksplorasi bauksit
meliputi pengukuran dan pemetaan, pembuata sumur uji, pengambilan conto laterit
bauksit, perhitungan cadangan, ketebalan tanah penutup (OB) swell factor dan
factor konkresi.
5.1.6
Metode
Penambangan
Tambang bauksit berupa surface
mining. Endapan bauksit di setiap lokasi mempunyai kadar yang berbeda-beda,
sehingga penambangannya dilakukan secara selektif dan pencampuran (blending)
merupakan salah satu cara untuk memenuhi persyaratan ekspor.
5.1.7
Sistem
Penambangan
Metode dan urutan penambangan bijih bauksit secara
umum adalah :
1. Pembersihan local (land clearing) dari tumbuh –
tumbuhan yang terdapat diatas endapan bijih bauksit.
2. Pengupasan lapisan penutup (stripping OB) yang umumnya
memiliki ketebalan 0.2 meter. Untuk pengupasan lapisan digunkan bulldozer.
3. Penggalian (digging) endapan bauksit dengan excavator
dan pemuatan bijih digunakan dump truck.
BAB 6
PENUTUP
6.1
KESIMPULAN
·
Berdasarkan
hasil penelitian fieldtrip yang telah dilakukan, peneliti dapat memberikan
kesimpulan bahwa ditemukan beberapa singkapan batuan di beberapa dengan
bermacam-macam batuan baik di daerah Motui yang mempunyai beberapa manfaat dalam kehidupan sehari-hari.
·
Beberapa
batuan tersebut mempunyai karakteristik yang yang berbeda- beda menurut tempat
asal terbentuknya, proses terjadinya serta komposisinya. Sehingga mengakibatkan
ciri fisik yang berbeda-beda pada tekstur, struktur, warna, dan lain-lain.
·
Dalam
fieldtrip ini penulis ini juga menyimpulkan bahwa mengidentifikasi batuan
secara langsung tidaklah semudah ketika mendapatkan teori. Pengambilan sampel
perlu dilakukan sehingga diperlukan beberapa alat untuk membantu pengambilan
sampel.
6.2
SARAN
Sebaiknya dalam
praktikum lapangan geologi fisik, asisten selalu mendampingi praktikan pada
saat mengambil sampel/mengidentifikasi singkapan, dari singkapan pertama sampai
terakhir. Selain itu, saya harap pada fieldtrip selanjutnya
pihak universitas dapat menyediakan alat yang lebih lengkap agar praktikan
tidak usah lagi bersusah payah meminjamnya dari pihak lain.
0 komentar:
Post a Comment