Ijinkan Aku Tetap Memanggilmu Ibu (Kisah Nyata Seorang Pemuda yang Memilih Islam Sebagai Agama)
Berikut ini adalah kisah seseorang yang memilih hidup menjadi seorang muslim. Tentang awal keyakinannya untuk memilih Islam sebagai agamanya
dengan konflik yang timbul setelahnya. Pada akhirnya, semoga tulisan ini
bermanfaat dan bisa diambil ibrah untuk kita semua.
IJINKAN AKU TETAP MEMANGGILMU IBU
Aku mencoba menulis untuk diriku, menulis tentang sepenggal
kisah hidupku. Yah, kalau mau kita spesifikkan tentang sepenggal episode
kehidupan masa laluku. Kehidupan yang selama ini kupendam dan tak ada yang tahu
selain aku, beliau, dan Rabbku. Kehidupan yang menjadi pijakan pertama untuk
memulai suatu kehidupan jauh lebih indah dari yang kubayangkan sebelumnya.
Kehidupan yang membuatku sadar akan pilihan yang kuambil beserta semua
konsekuensinya dan kepada siapa akan kukembalikan semuanya.
Namaku Irwan. Tunggu
dulu, jangan berpikir ini kisah picisan remaja galau, dan juga jangan kira
ini drama percintaan bak film korea dengan segala intrik dan perang dinginnya.
Bukan, Ini tentang aku dan kehidupanku.
Aku terlahir pada keluarga non-muslim yang tumbuh dan dibesarkan
dalam nuansa keagamaan yang begitu kental. Keluargaku termasuk penganut ibadah
yang taat. Teringat jelas bagaimana kehidupan yang kujalani saat itu. Tapi
tunggu dulu, bukan kisah itu yang ingin kuceritakan. Tapi tentang kisah titik
balik kehidupanku menjadi seorang muslim.
Aku mulai kisahnya pada tanggal 1 Ramadhan 1428 Hijriyah. Entah
apa yang ada dibenakku saat itu tapi tiba-tiba aku merasa tertantang untuk ikut
berpuasa bersama mayoritas penduduk negeri ini. Ingin kubuktikan bahwa aku juga
kuat berpuasa, jangan remehkan ya! Kabar baiknya hari pertama berlalu dengan
lancar tanpa ada kendala, dan kabar buruknya orang tuaku tidak tahu apa yang
anaknya ini lakukan. But I think it’s not a big deal. Ikut
puasa sampai 30 hari penuh, Why not?! Itu rencanaku.
Tapi semua berubah di hari ke-3. Bibiku tahu kalau aku sedang
berpuasa (sial –pikirku-). Untungnya dia seorang muslimah tidak seperti kedua
orang tuaku. Masih teringat jelas apa yang beliau tanyakan padaku saat itu,
“Apakah kamu yakin puasamu nanti diterima oleh Yang di Atas?” Bah, pertanyaan
macam apa ini! Bukan itu tujuanku ikut puasa. Aku hanya bisa terdiam membisu,
hening tak berkata kemudian berlalu pergi. Pertanyaan bibiku itu dengan sukses
berhasil mengganggu jadwal tidurku. Aku bertanya pada diriku sendiri, “Kenapa
aku terlahir di keluarga ini? Kenapa ayah dan ibuku keluar dari agama Islam?
Kenapa semua ini rasanya berat untuk terfikirkan di kepalaku?” Aku merasa iri
kepada mereka yang sudah berIslam sejak lahir. Kenapa? Karena mereka tidak
perlu menemukan alasan mengapa mereka beragama Islam. Bukan bermaksud
menghakimi,just my opinion.
Aku sedikit belajar tentang Islam waktu di SD dan SMP.
Menurutku, Islam agama yang menarik tapi belum cukup untuk membelokkanku dari
jalan hidupku waktu itu. Tahun demi tahun pun berjalan sebagaimana biasanya,
tanpa perbedaan. Tapi sekarang, tahun ini sepertinya akan jadi tahun yang berat
dalam hidupku. Kalian tahu kenapa? Keisenganku berpuasa, pertanyaan bibiku, dan
ketertarikanku dengan Islam. Semua memang sudah tertulis di Lauhul
Mahfudz sana. Ini bukan kebetulan, tapi ini sebuah takdir yang telah
Dia tuliskan untukku. Begitu berat tetapi Deal or no deal, it’s must be
a deal. Menerima takdir adalah sebuah keharusan. Bukan sebuah kewajiban
sebagaimana peraturan di sekolah yang kadang bisa dilanggar.
Semakin lama aku semakin tertarik dengan Islam. Semakin sering
aku membaca tentang kisah-kisah islam, mendengarkan ceramah, dan tanpa kusadari
hatiku merasa tentram bersamanya. Terselip banyak ketenangan batin ketika
mempelajari itu semua. Aku merasa tahun-tahun itu menjadi tahun yang paling
berkesan sepanjang hidupku.
Beberapa hari telah kulalui sejak kejadian itu. Entah sudah hari
ke berapa, tapi yang jelas sudah kuputuskan. Ya, benar, sudah kuputuskan untuk
menemui bibiku. Aku sudah memikirkannya, memikirkan tentang sebuah ketakutan.
Takut jika ternyata keputusanku salah. Takut jika yang kulakukan selama ini
sia-sia, takut jika ternyata tempat kembaliku adalah neraka, dan yang paling
kutakutkan adalah jika aku kekal tinggal di sana selamanya. Wal
‘iyadzubillah. Saat itu kutetapkan hatiku untuk memilih jalanku dengan
segala konsekuensi dan tanggung jawabnya. Akhirnya, kuikrarkan dua kalimat yang
penuh makna itu. Syahadat…
Ya benar, dua kalimat Syahadat. Hatiku tak kuasa menahan haru
yang luar biasa. Kini aku seorang mu’allaf.
وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا
“… dan kamu telah berada di
tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.” (QS. Ali Imran: 103)
Alhamdulillah, bibiku dengan senang hati mengajariku untuk
berwudhu, juga sholat, beliau juga mengajariku beberapa surat pendek. Paginya,
aku pertama kalinya melakukan sholat shubuh. Entah aneh rasanya, melakukan yang
tidak biasa kita lakukan, rasanya seperti kita sudah terbiasa minum kopi, tapi
tiba-tiba kita diharuskan terbiasa untuk minum madu dan jahe. Di roka’at kedua,
tak terasa air mataku menetes. Tapi, bukan kesedihan, kegalauan, ataupun rasa
berdosa yang mendera.
Ketenangan, tenang rasanya, penuh kedamaian…
Ya Allah, Allah, Allah.. tak henti-hentinya hatiku memanggilnya…
Tetesan air mata yang menemaniku diawal subuh sebagai seorang muslim..
Ya Allah, Allah, Allah.. tak henti-hentinya hatiku memanggilnya…
Tetesan air mata yang menemaniku diawal subuh sebagai seorang muslim..
Beberapa hari kemudian, aku menemui guru pengajar agamaku (agama
yang dulu) di sekolahku. Aku menyatakan telah memeluk agama Islam. Sepertinya
dia terguncang dengan pernyataanku, dia menyesalkan kenapa aku tidak terlebih
dahulu berkonsultasi kepadanya. Tapi sekali lagi, It’s not a big deal.
Bukan hal yang besar untuk dipermasalahkan. Baiklah, langkah selanjutnya aku
harus menemui guru pengajar agama Islam untuk bisa mengikuti pelajaran beliau.
Aku datang kerumah beliau dengan seorang teman yang sering aku ajak
berkonsultasi tentang agama islam.
Kaget! Ya, aku kaget. Guru pengajar agama Islam, Pak Andik malah
menyuruhku memikirkan ulang keputusanku memilih agama Islam. Bagiku ini bukan
pilihan, tapi keharusan. Beliau menyuruhku untuk kembali ke rumahnya minggu
depan, untuk menentukan pilihan dan memberikan waktu bagiku untuk memantapkan
hati. Oke, hari itu cukup membuatku untuk menjadi galau, tapi bukan galaunya
anak-anak boyband. Apalagi aktor BBF dari korea itu!! (Ngawur, ed) Setelah
semua yang aku lalui, beliau menyuruhku untuk memikirkan kembali keputusanku.
Dengan mantap aku katakan tidak! Aku tetap pada keputusanku.
Seminggu kemudian aku datang kerumah beliau dan dengan tetap
pada keyakinanku. Tak tergoyahkan dan tak mengubah kemantabanku sedikitpun.
Ingat, sedikitpun!! Begitu besar keyakinanku untuk memilihnya dan sungguh
sesuai dugaan. Beliau senang, ternyata yang diucapkannya minggu lalu hanya
untuk mengetes keyakinanku. Ingin rasanya kubilang WOW (tanpa salto, ed) waktu
itu di depan beliau, tapi aku masih punya sopan satun. Baiklah, karena WOW
(sekali lagi tanpa salto, ed) belum populer di masa itu. Kita sudahi pembahasan
WOW tanpa salto itu, karena minggu depan aku sudah bisa mengikuti pelajaran
beliau. Pelajaran Agama Islam..
Tahukah engkau wahai saudaraku, apakah manusia itu bebas
berkata, “Aku beriman” lalu mereka dibiarkan saja dan tidak mendapat ujian? Kurasa
semua telah paham.
أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
“Apakah manusia itu mengira
bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka
tidak diuji lagi?” (QS. Al-Ankabut: 2)
Inilah ujian berikutnya, pertengahan bulan Ramadhan, guru
agamaku yang dahulu memintaku untuk bertemu dengannya. Apakah ajakan untuk
berkencan? Jelas bukan! Dia memintaku untuk untuk membuat surat pernyataan
bahwa aku yang sudah beragama islam. Tanpa curiga kuikuti kemauannya. Inilah
awal petaka dari rentetan petaka-petaka yang ada. Malam harinya saat Ayah dan
Ibuku pulang dari ibadah rutinnya, tak ada angin tak ada hujan, Ibuku
membentakku, mencemooh dan memarahiku, menyesal punya anak sepertiku. Aku lupa
menceritakan kepada kalian bahwa aku belum memberitahu orang tuaku bahwa
anaknya telah memeluk agama Islam (But It’s not a big deal sengaja
dihapus oleh editor, ed). Anak yang tak tahu balas budi. “Sepertinya ini ada
hubungangnya dengan surat pernyataan itu,” pikirku -kemudian hening-. Karena
satu patah kata hanya akan memperkeruh udara rumah, membuat oksigen berkurang
dan udara menjadi pengap.
Ibuku menangis sejadi-jadinya, dia tidak ingin punya anak
sepertiku. Baiklah, kuturuti kemauannya. Mungkin, ibuku juga butuh waktu untuk
menerima kenyataan ini. Malam itu aku pergi dari rumah, dengan pakaian yang
masih melekat di badan. Kemana tempat tujuanku? Sekolah, tepatnya di masjid
Sekolah SMA. Rumah Allah, Rabbku, Rabb semesta alam.
Malam itu aku pergi ke masjid sekolah sambil menangis. Mengadu
kepada Rabbku. Aku tidak mengeluhkan tentang beratnya ujian ini, aku hanya
meminta kekuatan untuk bisa menghadapinya. Aku tahu aku tak bisa mengahadapi
ini sendirian. Kukeluarkan ponselku, sekedar untuk mengetik pesan singkat kepada
teman-temanku. Siapa saja, tolonglah! Aku butuh seseorang. Aku butuh teman.
Tapi tak ada satupun yang datang. Baiklah, lagi-lagi aku katakan, It’s
not a big deal. Tidak masalah, akhirnya kuhabiskan malam ini di
sekolah.
Paginya, seorang temanku datang ke sekolah. Alhamdulillah, Allah
tidak membiarkanku terlalu lama sendirian. Sendirian itu tidak enak. Siang
harinya -entah dari mana mereka tahu- orang tuaku menjemputku ke sekolah.
Mereka memintaku untuk pulang. Apakah kisahnya sudah selesai? Tentu saja belum.
Aku pulang dengan ragu. Ayah dan Ibu hanya diam di rumah, aku
juga diam. Haripun berlalu. Keesokan harinya, saat sedang menonton TV, ibuku
datang menghampiri. Beliau memperlihatkan catatan kadar gula darahnya yang di
atas normal. Beliau bertanya kepadaku apakah aku tidak kasihan kepadanya. Tentu
saja aku kasihan. “Aku ini anak yang normal Bu,” batinku. Beliau
mengancam akan terus menambah gula darahnya jika aku tidak kembali pada agama
mereka. Lagi-lagi hanya bisa diam. Tapi kali ini aku berkata dalam hati,
“Bahkan jika engkau wahai ibuku, punya 100 nyawa sekalipun, aku akan tetap
memilih jalan ini.”
لاَ تَفْعَلِي يَا أُمَّه، إِنِّي لاَ أَدَعُ دِيْنِي هَذَا لِشَيْءٍ
“Jangan engkau lakukan itu
wahai ibuku, sesungguhnya aku tidak akan meninggalkan agamaku ini.”
تَعْلَمِيْنَ وَاللهِ يَا أُمَّاهُ لَوْ كَانَتْ لَكِ مِئَةُ نَفْسٍ فَخَرَجَتْ نَفْسًا نَفْسًا مَا تَرَكْتُ دِيْنِيْ
“Demi Allah, ketahuilah wahai
ibu seandainya engkau mempunyai seratus nyawa dan keluar satu persatu, maka aku
tidak akan meninggalkan agama ini.”
(Sa’ad bin Abi Waqqash kepada ibundanya)
Maaf, apakah kalian pikir hal ini mudah bagiku? Tidak! Rasanya
berat. Sungguh sangat berat. Bayangkan jika orang yang kalian cintai, sayangi
dan kasihi berkata seperti itu hingga menetes air mata beliau. Tapi tetap
kucoba untuk menjelaskan kepada ibuku secara perlahan tentang pilihanku,
jalanku.
Bersama derai air mata, aku meminta sedikit rasa iba dari hati
ibuku.
Meminta sedikit pengertian untuk menerimaku..
Aku anakmu bu.. Aku anakmu..
Anak yang kau kandung selama 9 bulan 10 hari..
Kau rawat dan kau jaga..
Aku akan tetap menyayangimu..
Akan menyayangimu..
Kupeluk ibuku dengan penuh kasih sayang..
Ibu, aku tak akan pernah membencimu..
Meneteslah air mata ibuku..
Meminta sedikit pengertian untuk menerimaku..
Aku anakmu bu.. Aku anakmu..
Anak yang kau kandung selama 9 bulan 10 hari..
Kau rawat dan kau jaga..
Aku akan tetap menyayangimu..
Akan menyayangimu..
Kupeluk ibuku dengan penuh kasih sayang..
Ibu, aku tak akan pernah membencimu..
Meneteslah air mata ibuku..
Meskipun jalan kita berbeda tapi aku anakmu, aku tetap
menyayangimu. Bukan aku tak peduli dengan ancamanmu tetapi bukan itu tujuanku.
Aku ingin kau menerimaku dengan ketulusanmu sama seperti ketika engkau
membesarkanku mulai kecil sampai saat ini.
Ujian berikutnya datang dari paman dan bibiku, aneh. Mereka
memintaku untuk kembali keagama yang dulu. Karena mereka merasa kasihan kepada
ibuku, iba terhadap kondisinya. “Sekarang siapa yang jadi lemah, kalian tidak
melihat aku juga sangat menderita di sini,” pikirku. Apakah kalian tak melihat
tersayatnya hatiku? Ayolah, aku juga menderita. Tetapi, aku tetap di atas
keyakinanku, dan jangan goyahkan itu. Kali ini aku berani mengeluarkan
kata-kata karena memang aku yakin jika aku ada di atas kebenaran.
Tanggal 1 Syawal 1429 Hijriyah, pertama kalinya aku mengikuti
sholat ‘ied. Alhamdulillah, sekarang ibuku menyiapkan pakaianku untuk pergi
mengikuti sholat. Senang rasanya bisa menyelesaikan 30 hari berpuasa. Aku ingin
menggunakan kesempatan ini untuk meminta maaf kepada Ayah dan Ibuku. Tapi saat
kuhampiri ibuku yang duduk di sofa, saat kuulurkan tanganku untuk meraih
tangannya, bliau enggan menyambut tanganku, beliau enggan untuk memaafkanku.
Aku menangis, kuhampiri ayahku. Tapi syukurlah kali ini ayahku bersedia
memaafkanku. Cukup untuk tidak membuatku lebih terluka.
Itulah sepenggal kisahku. Sekarang sudah tahun ke-5 sejak hari
itu. Kini ibuku rela bangun pagi hanya untuk mengingatkan agar aku tak lupa
untuk makan sahur. Beliau selalu mengingatkanku untuk menjaga kesehatan, bahkan
mengingatkanku untuk rajin minum susu agar aku kuat untuk menjalani puasa.
Alhamdulillah, meski kami berjalan di atas jalan yang berbeda, takkan lelah
hati ini berharap mereka kelak bisa shalat berjamaah denganku, melewati puasa
Ramadhan bersama, dan kembali memeluk agama yang diridhoi Allah ta’ala. Insya
Allah.
Yaa Allah, tak lelah hati ini meminta dan mengiba padamu.
Tak lelah hatiku berharap kan cahaya darimu
Bimbing aku agar selalu dekat denganMu
Lindungi aku dari segala kejahatan dunia dan peluklah aku dalam naungan kasih
sayangMu.
Engkaulah Rabb seluruh alam, Engkaulah tempatku meminta..
Engkau.. hanya Engkau..
ditulis oleh Irwan Abu Abdirrahman Al-Magetaniy dengan perubahan
dan tambahan.
0 komentar:
Post a Comment