KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan
kehadirat pada Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat, karunia dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah ini dengan judul “ HIV / AIDS ”
Atas rahmat Allah
SWT, bantuan dari pembimbing dan dorongan dari berbagai pihak serta dengan
segala ketabahan hati dan berjiwa besar, maka makalah ini dapat terselesaikan.
Untuk itu, dengan selesainya penyusunan makalah ini maka penulis tak lupa
menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibu
Dra. Hj. Nuriati, yang dengan tulus, sabar dan ikhlas meluangkan waktu dan
tenaganya dalam memberikan bimbingan, arahan dan petunjuk yang bermanfaat
kepada penulis dalam menyelesaikan penyusunan hasil makalah ini.
Penulis menyadari
bahwa penyusunan hasil makalah ini masih jauh dari titik kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun dari pembaca untuk perbaikan penyusunan karya berikutnya.
Dan akhirnya kepada semua pihak
yang telah membantu baik secara langsung maupun secara tidak langsung dalam
penyusunan makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
semoga Allah SWT berkenan memberi balasan yang setimpal, Amin.
Demikian
pengantar dari penulis, akhir kata penulis ucapkan semoga skripsi ini dapat
bermanfaat.
Kendari, April 2013
P
e n u l i s
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
AIDS pertama kali dilaporkan pada
tanggal 5 Juni 1981, ketika Centers for Disease Control and Prevention Amerika Serikat mencatat adanya Pneumonia
pneumosistis
(sekarang masih diklasifikasikan sebagai PCP tetapi diketahui disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii) pada lima laki-laki homoseksual di Los Angeles.[102]
Dua spesies HIV yang diketahui
menginfeksi manusia adalah HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 lebih mematikan dan lebih mudah masuk kedalam tubuh.
HIV-1 adalah sumber dari mayoritas infeksi HIV di dunia, sementara HIV-2 sulit
dimasukan dan kebanyakan berada di Afrika Barat. Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primata. Asal HIV-1 berasal dari simpanse Pan troglodytes troglodytes
yang ditemukan di Kamerun selatan. HIV-2 berasal dari Sooty Mangabey (Cercocebus atys), monyet
dari Guinea
Bissau, Gabon, dan Kamerun.
Banyak ahli berpendapat bahwa HIV
masuk ke dalam tubuh manusia akibat kontak dengan primata lainnya, contohnya
selama berburu atau pemotongan daging.[105] Teori yang lebih kontroversial yang
dikenal dengan nama hipotesis
OPV AIDS, menyatakan
bahwa epidemik AIDS dimulai pada akhir tahun 1950-an di Kongo Belgia sebagai akibat dari penelitian Hilary Koprowski terhadap vaksin polio. Namun demikian, komunitas ilmiah
umumnya berpendapat bahwa skenario tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti
yang ada.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan
masalah dalam makalah ini:
1.
Jelaskan
pengertian HIV/AIDS?
2.
Jelaskan
gejala HIV/AIDS?
3.
Jelaskan
factor-faktor yang menyebabkan penyakit HIV/AIDS?
4.
Jelaskan
diagnosis dari penyakit HIV/AIDS?
5.
Bagaimana
penanganan yang dilakukan bagi penderita HIV/AIDS?
1.3 TUJUAN
Adapun tujuan dalam makalah ini yaitu untuk
mengetahui penyakit HIV/AIDS
dan penyebab yang dapat mempengaruhi remaja di jaman sekarang.
1.4 MANFAAT
Hasil makalah ini diharapkan dapat memberikan
informasi yang bermanfaat dan berguna bagi para pembaca makalah ini dan para
yang remaja yang rawan terhadap pengaruh dari pergaulan bebas.
\
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1
PENGERTIAN HIV/AIDS
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency
Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi
(atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV;[1] atau infeksi virus-virus lain yang
mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan
lain-lain).
Virusnya sendiri bernama Human
Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV)
yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena
virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi
oportunistik ataupun
mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada
dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum
benar-benar bisa disembuhkan.
HIV dan virus-virus sejenisnya
umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan
tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu.[2][3] Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan
bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan
cairan-cairan tubuh tersebut.
Para ilmuwan umumnya berpendapat
bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara.[4] Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi
38,6 juta orang di seluruh dunia. Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO
memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang
sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah
paling mematikan dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian
sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah
anak-anak. sepertiga
dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat
pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana.
Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi
tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap
pengobatan tersebut tidak tersedia di semua negara.
Hukuman sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya
lebih berat bila dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan lainnya.
Kadang-kadang hukuman sosial tersebut juga turut tertimpakan kepada petugas
kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang yang hidup
dengan HIV/AIDS (ODHA).
2.2
GEJALA DAN KOMPLIKASI
Gejala-gejala utama AIDS.Berbagai gejala AIDS umumnya tidak
akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik.
Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri,
virus,
fungi
dan parasit,
yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak
HIV. Infeksi oportunistik
umum didapati pada penderita AIDS. HIV memengaruhi hampir semua organ
tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker
seperti sarkoma Kaposi,
kanker leher rahim,
dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.
Biasanya penderita AIDS memiliki
gejala infeksi sistemik; seperti demam,
berkeringat
(terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah,
serta penurunan berat badan.[8][9]
Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada
tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup
pasien.
a.
Penyakit paru-paru utama
Pneumonia pneumocystis
(PCP) jarang dijumpai pada orang sehat yang memiliki kekebalan
tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang
terinfeksi HIV.Penyebab penyakit ini adalah fungi
Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya diagnosis, perawatan, dan tindakan
pencegahan rutin yang efektif di negara-negara
Barat, penyakit ini umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara
berkembang, penyakit ini masih merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang
yang belum dites, walaupun umumnya indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika
jumlah CD4
kurang dari 200 per µL.
Tuberkulosis
(TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang terkait
HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui
rute pernapasan (respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah
diidentifikasi, dapat muncul pada stadium awal HIV, serta dapat dicegah melalui
terapi pengobatan. Namun demikian, resistensi TBC terhadap berbagai obat
merupakan masalah potensial pada penyakit ini.
Meskipun munculnya penyakit ini di
negara-negara Barat telah berkurang karena digunakannya terapi dengan pengamatan
langsung dan metode terbaru lainnya, namun tidaklah demikian yang terjadi di
negara-negara berkembang tempat HIV paling banyak ditemukan. Pada stadium awal
infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per µL), TBC muncul sebagai penyakit
paru-paru. Pada stadium lanjut infeksi HIV, ia sering muncul sebagai penyakit
sistemik yang menyerang bagian tubuh lainnya (tuberkulosis ekstrapulmoner).
Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik (konstitusional) dan tidak
terbatasi pada satu tempat.TBC yang menyertai infeksi HIV sering menyerang sumsum
tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan,
hati,
kelenjar getah bening (nodus limfa
regional), dan sistem syaraf pusat.
Dengan demikian, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat
munculnya penyakit ekstrapulmoner.
b.
Penyakit saluran pencernaan utama
Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan
(esofagus),
yaitu jalur makanan dari mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV,
penyakit ini terjadi karena infeksi jamur (jamur kandidiasis)
atau virus (herpes simpleks-1
atau virus sitomegalo).
Ia pun dapat disebabkan oleh mikobakteria,
meskipun kasusnya langka
Diare
kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena
berbagai penyebab; antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti Salmonella,
Shigella,
Listeria,
Kampilobakter,
dan Escherichia coli),
serta infeksi oportunistik yang tidak umum dan virus (seperti kriptosporidiosis,
mikrosporidiosis,
Mycobacterium avium complex,
dan virus sitomegalo
(CMV) yang merupakan penyebab kolitis).
Pada beberapa kasus, diare
terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang digunakan untuk menangani
HIV, atau efek samping dari infeksi utama (primer) dari HIV itu sendiri. Selain
itu, diare dapat juga merupakan efek samping dari antibiotik
yang digunakan untuk menangani bakteri diare (misalnya pada Clostridium difficile).
Pada stadium akhir infeksi HIV, diare diperkirakan merupakan petunjuk
terjadinya perubahan cara saluran pencernaan
menyerap nutrisi, serta mungkin merupakan komponen penting dalam sistem
pembuangan yang berhubungan dengan HIV.[14]
c.
Penyakit syaraf dan kejiwaan utama
Infeksi HIV dapat menimbulkan
beragam kelainan tingkah laku karena gangguan pada syaraf (neuropsychiatric
sequelae), yang disebabkan oleh infeksi organisma atas sistem syaraf yang
telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu sendiri.
Toksoplasmosis
adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit
bersel-satu, yang disebut Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya
menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak akut (toksoplasma ensefalitis),
namun ia juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata
dan paru-paru.[15]
Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges
(membran yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang)
oleh jamur Cryptococcus
neoformans. Hal ini dapat menyebabkan demam, sakit
kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami sawan
dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan.
Leukoensefalopati multifokal
progresif adalah penyakit demielinasi,
yaitu penyakit yang menghancurkan selubung syaraf (mielin)
yang menutupi serabut sel syaraf (akson),
sehingga merusak penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan oleh virus
JC, yang 70% populasinya terdapat di tubuh manusia dalam
kondisi laten, dan menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan sangat
lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang cepat
(progresif) dan menyebar (multilokal), sehingga biasanya menyebabkan kematian dalam
waktu sebulan setelah diagnosis.[16]
Kompleks demensia AIDS adalah
penyakit penurunan kemampuan mental (demensia)
yang terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak (ensefalopati
metabolik)
yang disebabkan oleh infeksi HIV; dan didorong pula oleh terjadinya pengaktifan
imun oleh makrofag dan mikroglia
pada otak yang mengalami infeksi HIV, sehingga mengeluarkan neurotoksin.
Kerusakan syaraf yang spesifik, tampak dalam bentuk
ketidaknormalan kognitif, perilaku, dan motorik, yang muncul bertahun-tahun
setelah infeksi HIV terjadi. Hal ini berhubungan dengan keadaan rendahnya
jumlah sel T CD4+ dan tingginya muatan virus pada plasma darah.
Angka kemunculannya (prevalensi) di negara-negara Barat adalah sekitar 10-20%,
namun di India
hanya terjadi pada 1-2% pengidap infeksi HIV. Perbedaan ini mungkin terjadi
karena adanya perbedaan subtipe HIV di India.
d. Kanker
dan tumor ganas (malignan)
Sarkoma Kaposi
Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki risiko yang
lebih tinggi terhadap terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus
DNA penyebab mutasi
genetik; yaitu terutama virus Epstein-Barr
(EBV), virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV), dan virus
papiloma manusia (HPV).[21][22]
Sarkoma Kaposi adalah tumor yang
paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini pada
sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981
adalah salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh
virus dari subfamili gammaherpesvirinae,
yaitu virus herpes manusia-8
yang juga disebut virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering
muncul di kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ
lain, terutama mulut,
saluran pencernaan, dan paru-paru.
Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma
sel
B) adalah kanker yang menyerang sel darah putih dan terkumpul
dalam kelenjar getah bening, misalnya seperti limfoma
Burkitt (Burkitt's lymphoma) atau
sejenisnya (Burkitt's-like lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma
(DLBCL), dan limfoma sistem syaraf pusat primer,
lebih sering muncul pada pasien yang terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali
merupakan perkiraan kondisi (prognosis)
yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma adalah tanda utama AIDS. Limfoma ini
sebagian besar disebabkan oleh virus Epstein-Barr
atau virus herpes Sarkoma Kaposi.
Kanker leher rahim
pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini disebabkan
oleh virus papiloma
manusia.
Pasien yang terinfeksi HIV juga
dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma
Hodgkin, kanker usus besar bawah
(rectum), dan kanker anus.
Namun demikian, banyak tumor-tumor yang umum seperti kanker
payudara dan kanker
usus besar (colon), yang tidak
meningkat kejadiannya pada pasien terinfeksi HIV. Di tempat-tempat dilakukannya
terapi
antiretrovirus yang sangat aktif (HAART) dalam menangani AIDS,
kemunculan berbagai kanker yang berhubungan dengan AIDS menurun, namun pada
saat yang sama kanker kemudian menjadi penyebab kematian yang paling umum pada
pasien yang terinfeksi HIV.
e. Infeksi oportunistik lainnya
Pasien AIDS biasanya menderita
infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik, terutama demam
ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk
infeksi Mycobacterium avium-intracellulare
dan virus sitomegalo.
Virus sitomegalo dapat menyebabkan gangguan radang pada usus besar (kolitis)
seperti yang dijelaskan di atas, dan gangguan radang pada retina mata (retinitis sitomegalovirus),
yang dapat menyebabkan kebutaan. Infeksi yang disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei,
atau disebut Penisiliosis,
kini adalah infeksi oportunistik ketiga yang paling umum (setelah tuberkulosis
dan kriptokokosis)
pada orang yang positif HIV di daerah endemik Asia
Tenggara.
2.3
PENYEBAB
HIV yang baru memperbanyak diri tampak bermunculan sebagai
bulatan-bulatan kecil (diwarnai hijau) pada permukaan limfosit
setelah menyerang sel tersebut; dilihat dengan mikroskop elektron.
AIDS merupakan bentuk terparah atas
akibat infeksi
HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ
vital sistem kekebalan manusia, seperti sel
T CD4+ (sejenis sel T),
makrofaga,
dan sel dendritik.
HIV merusak sel T CD4+ secara langsung dan tidak langsung, padahal
sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi
baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya menyusut
hingga kurang dari 200 per mikroliter
(µL) darah,
maka kekebalan di tingkat sel
akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut
HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi
HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T
CD4+ di dalam darah serta adanya infeksi tertentu.
Tanpa terapi antiretrovirus,
rata-rata
lamanya perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh
tahun, dan rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2
bulan. Namun demikian, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat
bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang
memengaruhinya, diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV
(seperti fungsi kekebalan tubuh) dari orang yang terinfeksi. Orang tua umumnya
memiliki kekebalan yang lebih lemah daripada orang yang lebih muda, sehingga
lebih berisiko mengalami perkembangan penyakit yang pesat. Akses yang kurang
terhadap perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti tuberkulosis,
juga dapat mempercepat perkembangan penyakit ini. Warisan
genetik orang yang terinfeksi juga
memainkan peran penting. Sejumlah orang kebal secara alami terhadap beberapa
varian HIV. HIV memiliki beberapa variasi genetik dan berbagai bentuk yang
berbeda, yang akan menyebabkan laju perkembangan penyakit klinis yang berbeda-beda
pula. Terapi antiretrovirus yang sangat aktif akan dapat memperpanjang
rata-rata waktu berkembangannya AIDS, serta rata-rata waktu kemampuan penderita
bertahan hidup.
a. Penularan seksual
Penularan (transmisi) HIV secara
seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan
preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran
mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa
pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung,
dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa
dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk
melalui seks oral reseptif maupun insertif. Kekerasan seksual secara umum
meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan
sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi
HIV.
Penyakit menular seksual
meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan
epitel normal akibat adanya borok
alat kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit
dan makrofaga)
pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika
Sub-Sahara, Eropa,
dan Amerika Utara
menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi
AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis
dan/atau chancroid.
Resiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya
penyakit menular seksual seperti kencing
nanah, infeksi chlamydia,
dan trikomoniasis
yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofaga.
Transmisi HIV bergantung pada
tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan pasangan seksual yang
belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai tahap penyakit
ini dan tidak konstan antarorang. Beban
virus plasma yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti
bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali
penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju
transmisi HIV. Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan
hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih
besar terhadap penyakit seksual. Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat
terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan.
b. Kontaminasi patogen melalui darah
Poster CDC
tahun 1989, yang mengetengahkan bahaya AIDS sehubungan dengan pemakaian
narkoba.
Jalur penularan ini terutama
berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia,
dan resipien transfusi darah
dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali jarum
suntik (syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi
oleh organisme biologis penyebab penyakit (patogen),
tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis
B dan hepatitis
C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab
sepertiga dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika
Utara, Republik Rakyat Cina,
dan Eropa Timur.
Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan
orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis
dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu. Pekerja fasilitas
kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga
dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi
pada orang yang memberi dan menerima rajah
dan tindik tubuh.
Kewaspadaan universal
sering kali tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena
sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO memperkirakan
2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui suntikan
pada fasilitas kesehatan yang tidak aman.[41]
Oleh sebab itu, Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum
dalam masalah ini, mendorong negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan
universal untuk mencegah penularan HIV melalui fasilitas kesehatan.
Resiko penularan HIV pada penerima
transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di negara maju, pemilihan donor
bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun demikian, menurut WHO,
mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan
"antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang
terinfeksi".
c. Penularan masa perinatal
Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat
terjadi melalui rahim (in utero)
selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat
persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama
kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu
memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah
caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%.Sejumlah faktor
dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan
(semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui
meningkatkan risiko penularan sebesar 4%.
2.4
DIAGNOSIS
Sejak tanggal 5
Juni 1981, banyak definisi yang muncul untuk
pengawasan epidemiologi
AIDS, seperti definisi Bangui
dan definisi
World Health Organization tentang AIDS tahun 1994.
Namun demikian, kedua sistem tersebut sebenarnya ditujukan untuk pemantauan
epidemi dan bukan untuk penentuan tahapan klinis pasien, karena definisi yang
digunakan tidak sensitif ataupun spesifik. Di negara-negara berkembang, sistem World Health Organization
untuk infeksi HIV digunakan dengan memakai data klinis dan laboratorium;
sementara di negara-negara maju digunakan sistem klasifikasi Centers
for Disease Control (CDC) Amerika Serikat.
a. Sistem tahapan infeksi WHO
Grafik hubungan antara jumlah HIV dan jumlah CD4+
pada rata-rata infeksi HIV yang tidak ditangani. Keadaan penyakit dapat
bervariasi tiap orang.
jumlah limfosit T CD4+ (sel/mm³)
jumlah RNA HIV per mL plasma
Pada tahun 1990, World Health Organization
(WHO) mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan
sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan HIV-1.[46]
Sistem ini diperbarui pada bulan September
tahun 2005.
Kebanyakan kondisi ini adalah infeksi oportunistik
yang dengan mudah ditangani pada orang sehat.
- Stadium
I: infeksi HIV asimtomatik
dan tidak dikategorikan sebagai AIDS
- Stadium
II: termasuk manifestasi membran
mukosa kecil dan radang saluran pernapasan atas
yang berulang
- Stadium
III: termasuk diare
kronik
yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari sebulan, infeksi bakteri
parah, dan tuberkulosis.
- Stadium
IV: termasuk toksoplasmosis
otak,
kandidiasis
esofagus,
trakea,
bronkus
atau paru-paru,
dan sarkoma kaposi.
Semua penyakit ini adalah indikator AIDS.
b. Sistem klasifikasi CDC
Terdapat dua definisi tentang AIDS,
yang keduanya dikeluarkan oleh Centers
for Disease Control and Prevention (CDC). Awalnya CDC tidak memiliki
nama resmi untuk penyakit ini; sehingga AIDS dirujuk dengan nama penyakit yang
berhubungan dengannya, contohnya ialah limfadenopati.
Para penemu HIV bahkan pada mulanya menamai AIDS dengan nama virus tersebut.
CDC mulai menggunakan kata AIDS pada bulan September
tahun 1982,
dan mendefinisikan penyakit ini. Tahun 1993,
CDC memperluas definisi AIDS mereka dengan memasukkan semua orang yang jumlah
sel T CD4+ di bawah 200 per µL darah atau 14% dari seluruh limfositnya
sebagai pengidap positif HIV. Mayoritas kasus AIDS di negara maju menggunakan
kedua definisi tersebut, baik definisi CDC terakhir maupun pra-1993. Diagnosis
terhadap AIDS tetap dipertahankan, walaupun jumlah sel T CD4+
meningkat di atas 200 per µL darah setelah perawatan ataupun penyakit-penyakit
tanda AIDS yang ada telah sembuh.
c. Tes HIV
Banyak orang tidak menyadari bahwa
mereka terinfeksi virus HIV. Kurang dari 1% penduduk perkotaan di Afrika
yang aktif secara seksual telah menjalani tes HIV, dan persentasenya bahkan
lebih sedikit lagi di pedesaan. Selain itu, hanya 0,5% wanita mengandung di
perkotaan yang mendatangi fasilitas kesehatan umum memperoleh bimbingan tentang
AIDS, menjalani pemeriksaan, atau menerima hasil tes mereka. Angka ini bahkan
lebih kecil lagi di fasilitas kesehatan umum pedesaan. Dengan demikian, darah
dari para pendonor
dan produk darah yang digunakan untuk pengobatan dan penelitian medis, harus
selalu diperiksa kontaminasi HIV-nya.
Tes HIV umum, termasuk imunoasai
enzim
HIV dan pengujian Western blot,
dilakukan untuk mendeteksi antibodi
HIV pada serum,
plasma,
cairan mulut, darah kering, atau urin
pasien. Namun demikian, periode antara infeksi dan berkembangnya antibodi
pelawan infeksi yang dapat dideteksi (window period) bagi setiap orang
dapat bervariasi. Inilah sebabnya mengapa dibutuhkan waktu 3-6 bulan untuk
mengetahui serokonversi
dan hasil positif tes. Terdapat pula tes-tes komersial untuk mendeteksi antigen
HIV lainnya, HIV-RNA,
dan HIV-DNA,
yang dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV meskipun perkembangan
antibodinya belum dapat terdeteksi. Meskipun metode-metode tersebut tidak
disetujui secara khusus untuk diagnosis infeksi HIV, tetapi telah digunakan
secara rutin di negara-negara maju.
2.4
PENCEGAHAN
Tiga jalur utama (rute) masuknya
virus HIV ke dalam tubuh ialah melalui hubungan
seksual, persentuhan (paparan) dengan
cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi, serta dari ibu ke janin
atau bayi selama periode sekitar kelahiran (periode perinatal).
Walaupun HIV dapat ditemukan pada air
liur, air mata dan urin orang yang terinfeksi,
namun tidak terdapat catatan kasus infeksi dikarenakan cairan-cairan tersebut,
dengan demikian risiko infeksinya secara umum dapat diabaikan.
a.
Hubungan seksual
Mayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan
seksual tanpa pelindung
antarindividu yang salah satunya terkena HIV. Hubungan heteroseksual
adalah modus utama infeksi HIV di dunia.]
Selama hubungan seksual, hanya kondom
pria atau kondom wanita yang dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi HIV dan
penyakit seksual lainnya serta kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini
menunjukan bahwa penggunaan kondom yang lazim mengurangi risiko penularan HIV
sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih besar
jika kondom digunakan dengan benar dalam setiap kesempatan.[
Kondom laki-laki berbahan lateks,
jika digunakan dengan benar tanpa pelumas
berbahan dasar minyak, adalah satu-satunya teknologi yang
paling efektif saat ini untuk mengurangi transmisi HIV secara seksual dan
penyakit menular seksual lainnya. Pihak produsen kondom menganjurkan bahwa
pelumas berbahan minyak seperti vaselin,
mentega,
dan lemak
babi tidak digunakan dengan kondom lateks karena bahan-bahan
tersebut dapat melarutkan lateks dan membuat kondom berlubang. Jika diperlukan,
pihak produsen menyarankan menggunakan pelumas berbahan dasar air.
Pelumas berbahan dasar minyak digunakan dengan kondom poliuretan.
Kondom wanita
adalah alternatif selain kondom laki-laki dan terbuat dari poliuretan,
yang memungkinkannya untuk digunakan dengan pelumas berbahan dasar minyak.
Kondom wanita lebih besar daripada kondom laki-laki dan memiliki sebuah ujung terbuka
keras berbentuk cincin, dan didesain untuk dimasukkan ke dalam vagina.
Kondom wanita memiliki cincin bagian dalam yang membuat kondom tetap di dalam
vagina — untuk memasukkan kondom wanita, cincin ini harus ditekan. Kendalanya
ialah bahwa kini kondom wanita masih jarang tersedia dan harganya tidak
terjangkau untuk sejumlah besar wanita. Penelitian awal menunjukkan bahwa
dengan tersedianya kondom wanita,
hubungan seksual dengan pelindung secara keseluruhan meningkat relatif terhadap
hubungan seksual tanpa pelindung sehingga kondom wanita merupakan strategi
pencegahan HIV yang penting.[
Penelitian terhadap pasangan yang
salah satunya terinfeksi menunjukkan bahwa dengan penggunaan kondom yang
konsisten, laju infeksi HIV terhadap pasangan yang belum terinfeksi adalah di
bawah 1% per tahun. Strategi pencegahan telah dikenal dengan baik di
negara-negara maju. Namun, penelitian atas perilaku dan epidemiologis
di Eropa
dan Amerika Utara
menunjukkan keberadaan kelompok minoritas anak muda yang tetap melakukan
kegiatan berisiko tinggi meskipun telah mengetahui tentang HIV/AIDS, sehingga
mengabaikan risiko yang mereka hadapi atas infeksi HIV. Namun demikian,
transmisi HIV antarpengguna narkoba telah menurun, dan transmisi HIV oleh
transfusi darah menjadi cukup langka di negara-negara maju.
Pada bulan Desember tahun 2006,
penelitian yang menggunakan uji acak terkendali
mengkonfirmasi bahwa sunat laki-laki menurunkan risiko infeksi
HIV pada pria heteroseksual Afrika sampai sekitar 50%. Diharapkan
pendekatan ini akan digalakkan di banyak negara yang terinfeksi HIV paling
parah, walaupun penerapannya akan berhadapan dengan sejumlah isu sehubungan
masalah kepraktisan, budaya, dan perilaku masyarakat. Beberapa ahli
mengkhawatirkan bahwa persepsi kurangnya kerentanan HIV pada laki-laki
bersunat, dapat meningkatkan perilaku seksual berisiko sehingga mengurangi
dampak dari usaha pencegahan ini.
Pemerintah Amerika Serikat
dan berbagai organisasi kesehatan menganjurkan Pendekatan ABC untuk
menurunkan risiko terkena HIV melalui hubungan seksual.[67]
Adapun rumusannya dalam bahasa
Indonesia:[68]
b.
Kontaminasi
cairan tubuh terinfeksi
Pekerja kedokteran yang mengikuti
kewaspadaan universal, seperti mengenakan sarung tangan lateks ketika menyuntik
dan selalu mencuci tangan, dapat membantu mencegah infeksi HIV.
Semua organisasi pencegahan AIDS
menyarankan pengguna narkoba untuk tidak berbagi jarum dan bahan lainnya yang
diperlukan untuk mempersiapkan dan mengambil narkoba (termasuk alat suntik,
kapas bola, sendok, air pengencer obat, sedotan, dan lain-lain). Orang perlu
menggunakan jarum yang baru dan disterilisasi untuk tiap suntikan. Informasi
tentang membersihkan jarum menggunakan pemutih disediakan oleh fasilitas
kesehatan dan program penukaran jarum.
Di sejumlah negara maju, jarum bersih terdapat gratis di sejumlah kota, di
penukaran jarum atau tempat penyuntikan yang aman. Banyak negara telah
melegalkan kepemilikan jarum dan mengijinkan pembelian perlengkapan penyuntikan
dari apotek tanpa perlu resep dokter.
c.
Penularan
dari ibu ke anak
Penelitian menunjukkan bahwa obat
antiretrovirus, bedah caesar, dan pemberian makanan formula mengurangi peluang
penularan HIV dari ibu ke anak (mother-to-child transmission, MTCT).
Jika pemberian makanan pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan dengan mudah,
terjangkau, berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak
menyusui anak mereka. Namun demikian, jika hal-hal tersebut tidak dapat
terpenuhi, pemberian ASI eksklusif disarankan dilakukan selama bulan-bulan
pertama dan selanjutnya dihentikan sesegera mungkin. Pada tahun 2005,
sekitar 700.000 anak di bawah umur 15 tahun terkena HIV, terutama melalui
penularan ibu ke anak; 630.000 infeksi di antaranya terjadi di Afrika. Dari
semua anak yang diduga kini hidup dengan HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal
di Afrika Sub Sahara.
2.5
PENANGANAN
Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV
atau AIDS. Metode satu-satunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada
penghindaran kontak dengan virus atau, jika gagal, perawatan antiretrovirus
secara langsung setelah kontak dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure prophylaxis (PEP). PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang
menuntut banyak waktu. PEP juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan
seperti diare, tidak enak badan, mual, dan lelah.
a. Terapi
antivirus
Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif (highly active antiretroviral
therapy, disingkat HAART).] Terapi ini telah sangat bermanfaat
bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996, yaitu setelah ditemukannya HAART yang menggunakan protease
inhibitor Pilihan
terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat (disebut
"koktail) yang terdiri dari paling sedikit dua macam (atau
"kelas") bahan antiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan
adalah nucleoside analogue reverse
transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease
inhibitor, atau
dengan non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitor
(NNRTI). Karena penyakit HIV lebih cepat perkembangannya pada anak-anak
daripada pada orang dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun lebih agresif
untuk anak-anak daripada untuk orang dewasa. Di negara-negara berkembang yang
menyediakan perawatan HAART, seorang dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan berkurangnya CD4, serta
kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai perawatan awal.
Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia
(banyaknya jumlah virus dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak
menyembuhkannya dari HIV ataupun menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat
yang tinggi sering resisten terhadap HAART dan gejalanya kembali setelah
perawatan dihentikan. Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup
seseorang untuk membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan HAART Meskipun
demikian, banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan
umum dan kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas
tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena HIV. Tanpa perawatan HAART,
berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan kecepatan rata-rata (median)
antara sembilan sampai sepuluh tahun, dan selanjutnya waktu bertahan setelah
terjangkit AIDS hanyalah 9.2 bulan Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu
bertahan pasien selama 4 sampai 12 tahun.Bagi beberapa pasien lainnya, yang
jumlahnya mungkin lebih dari lima puluh persen, perawatan HAART memberikan
hasil jauh dari optimal. Hal ini karena adanya efek samping/dampak pengobatan
tidak bisa ditolerir, terapi antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan
infeksi HIV tertentu yang resisten obat. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan
dalam menerapkan terapi antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan
individu gagal memperoleh manfaat dari penerapan HAART. Terdapat bermacam-macam alasan atas
sikap tidak taat dan tidak teratur untuk penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu
psikososial yang utama ialah kurangnya akses atas fasilitas kesehatan,
kurangnya dukungan sosial, penyakit kejiwaan, serta penyalahgunaan obat.
Perawatan HAART juga kompleks, karena adanya beragam kombinasi jumlah pil,
frekuensi dosis, pembatasan makan, dan lain-lain yang harus dijalankan secara
rutin . Berbagai efek samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur
dalam penerapan HAART, antara lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan insulin, peningkatan risiko sistem
kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan.
Obat anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu
terinfeksi di dunia tidaklah memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan
untuk HIV dan AIDS tersebut.
b. Penanganan
eksperimental dan saran
Telah terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang sesuai
untuk menahan epidemik global (pandemik) karena biaya vaksin lebih murah dari
biaya pengobatan lainnya, sehingga negara-negara berkembang mampu mengadakannya
dan pasien tidak membutuhkan perawatan harian. Namun setelah lebih dari 20
tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan target yang sulit bagi vaksin.
Beragam penelitian untuk meningkatkan perawatan termasuk
usaha mengurangi efek samping obat, penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk
memudahkan pemakaian, dan penentuan urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk
menghadapi adanya resistensi obat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa
langkah-langkah pencegahan infeksi oportunistik dapat menjadi bermanfaat ketika
menangani pasien dengan infeksi HIV atau AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A dan B disarankan untuk pasien yang
belum terinfeksi virus ini dan dalam berisiko terinfeksi. Pasien yang mengalami
penekanan daya tahan tubuh yang besar juga disarankan mendapatkan terapi
pencegahan (propilaktik) untuk pneumonia
pneumosistis,
demikian juga pasien toksoplasmosis dan kriptokokus meningitis yang akan banyak pula mendapatkan
manfaat dari terapi propilaktik tersebut.
c. Pengobatan
alternatif
Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk
menangani gejala atau mengubah arah perkembangan penyakit. Akupunktur telah digunakan untuk mengatasi
beberapa gejala, misalnya kelainan syaraf tepi (peripheral neuropathy)
seperti kaki kram, kesemutan atau nyeri; namun tidak menyembuhkan infeksi HIV
Tes-tes uji acak klinis terhadap efek obat-obatan jamu menunjukkan bahwa tidak
terdapat bukti bahwa tanaman-tanaman obat tersebut memiliki dampak pada
perkembangan penyakit ini, tetapi malah kemungkinan memberi beragam efek
samping negatif yang serius.
Beberapa data memperlihatkan bahwa suplemen multivitamin dan mineral kemungkinan mengurangi
perkembangan penyakit HIV pada orang dewasa, meskipun tidak ada bukti yang
menyakinkan bahwa tingkat kematian (mortalitas) akan berkurang pada orang-orang
yang memiliki status nutrisi yang baik. Suplemen vitamin A pada anak-anak kemungkinan juga
memiliki beberapa manfaat. Pemakaian selenium dengan dosis rutin harian dapat
menurunkan beban tekanan virus HIV melalui terjadinya peningkatan pada jumlah
CD4. Selenium dapat digunakan sebagai terapi pendamping terhadap berbagai
penanganan antivirus yang standar, tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk
menurunkan mortalitas dan morbiditas.
Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan
alteratif memiliki hanya sedikit efek terhadap mortalitas dan morbiditas
penyakit ini, namun dapat meningkatkan kualitas hidup individu yang mengidap
AIDS. Manfaat-manfaat psikologis dari beragam terapi alternatif tersebut
sesungguhnya adalah manfaat paling penting dari pemakaiannya.
Namun oleh penelitian yang mengungkapkan adanya simtoma hipotiroksinemia pada penderita AIDS yang terjangkit virus HIV-1, beberapa pakar menyarankan terapi
dengan asupan hormon tiroksin. Hormon tiroksin dikenal dapat meningkatkan laju
metabolisme basal sel eukariota dan memperbaiki gradien pH pada mitokondria.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil makalah dan pembahasan di atas, maka kesimpulan yang dapat diambil sebagi berikut:
1.
Virusnya
sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV)
yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena
virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi
oportunistik ataupun
mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada
dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum
benar-benar bisa disembuhkan.
2.
Gejala-gejala utama AIDS.Berbagai
gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem
kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri,
virus,
fungi
dan parasit,
yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak
HIV. Infeksi oportunistik
umum didapati pada penderita AIDS.[7]
HIV memengaruhi hampir semua organ
tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker
seperti sarkoma Kaposi,
kanker leher rahim,
dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.
3.
AIDS merupakan bentuk terparah atas
akibat infeksi
HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ
vital sistem kekebalan manusia, seperti sel
T CD4+ (sejenis sel T),
makrofaga,
dan sel dendritik.
HIV merusak sel T CD4+ secara langsung dan tidak langsung, padahal
sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi
baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya menyusut
hingga kurang dari 200 per mikroliter
(µL) darah,
maka kekebalan di tingkat sel
akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut
HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi
HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T
CD4+ di dalam darah serta adanya infeksi tertentu.
4. Tiga
jalur utama (rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh ialah melalui hubungan
seksual, persentuhan (paparan) dengan
cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi, serta dari ibu ke janin
atau bayi selama periode sekitar kelahiran (periode perinatal).
Walaupun HIV dapat ditemukan pada air
liur, air mata dan urin orang yang terinfeksi,
namun tidak terdapat catatan kasus infeksi dikarenakan cairan-cairan tersebut,
dengan demikian risiko infeksinya secara umum dapat diabaikan
3.2
SARAN
Sehubungan dengan hasil makalah ini
penulis menyarankan :
1.
Hendaknya
dengan mengetahui factor-faktor yang menyebabkan penyakit HIV/AIDS kita dapat
menghindari penyakit HIV/AIDS.
2.
Diharapkan
dapat memberikan
pengetahuan, semangat, dorongan serta solusi untuk belajar lebih giat atau
lebih aktif lagi dalam setiap pelajaran yang disampaikan oleh guru.
0 komentar:
Post a Comment