Monday 28 November 2016

LAPORAN LAPANGAN FIELD TRIP GEOLOGI FISIK

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS HALU OLEO
FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN
 


LAPORAN FIELD TRIP GEOLOGI FISIK
STUDI GEOLOGI FISIK PENYUSUN BATUAN MOTUI
KABUPATEN KONAWE UTARA
PROVINSI SULAWESI TENGGARA


Telah dikonsultasikan dan disetujui oleh Asisten Pembimbing dan Dosen Penanggungjawab

Kendari, 22 November 2016
Disetujui Oleh,
Asisten Pembimbing I                                 Asisten Pembimbing II


SYAHWIL AKBAR                                      LA ODE MIQDAD HUSEIN
NIM. F1B2 14 070                                        NIM. F1B2 14 022


Mengetahui,
Dosen Penanggungjawab                                     Koordinator Asisten


ERWIN ANSHARI S.Si., M.Eng.                           LA ODE RAEMAKA
NIP. 19880628 2015141001                                  NIM. F1B2 13 090



KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS HALU OLEO
FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN



LAPORAN FIELD TRIP GEOLOGI FISIK
STUDI GEOLOGI FISIK BATUAN PENYUSUN DAERAH MOTUI
KABUPATEN KONAWE UTARA
PROVINSI SULAWESI TENGGARA


Diajukan sebagai salah satu syarat kelulusan mata kuliah Geologi Fisik pada
JurusanTeknik Pertambangan
Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian




MUHAMMAD ALI HUSEIN
R1D1 16 098







KENDARI
2016



KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis berhasil menyelesaikan Laporan Lapangan Field Trip Geologi fisik ini yang syukur dan alhamdulillah selesai tepat pada waktunya.
Dalam proses penyusunan laporan ini, penulis banyak mengalami kesulitan. Namun berkat bantuan dan bimbingan dari beberapa pihak, terutama kepada yang terhormat dosen pembimbing Genesa Bahan Galian Bapak Erwin Anshari, S.Si, M.Eng. serta kepada para asisten yang memberikan bimbingan dan koreksi sehingga laporan ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih serta penghargaan sebesar-besarnya, dan semoga Tuhan yang maha Esa dapat melimpahkan Rahmat-Nya atas segala amal yang dilakukan.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan laporan ini.
Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan laporan ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan yang maha Esa senantiasa meridhoi segala usaha yang telah dilakukan.

Kendari, 22 November 2016


Penyusun




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Sulawesi dan daerah sekitarnya terletak pada pertemuan tiga lempeng yang saling bertabrakan; Lempeng Benua Eurasia yang relatif diam, Lempeng Pasifik yang bergerak ke barat dan Lempeng Australia-Hindia yang bergerak ke utara, sehingga kondisi  tektoniknya  sangat  kompleks,  dimana kumpulan batuan  dari  busur kepulauan,  batuan bancuh,  ofiolit, dan bongkah  dari  mikrokontinen  terbawa  bersama proses  penunjaman, tubrukan, serta proses tektonik lainnya. Adapun struktur geologi yang berkembang  didominasi  sesar-sesar  mendatar,  dimana  mekanisme pembentukan struktur geologi Sulawesi bisa dijelaskan dengan model simple shear.
Pulau Sulawesi adalah pulau di negara Indonesia yang mempunyai batuan penyusun paling kompleks diantara batuan penyususun pulau-pulau yang lain. Dari beberapa provinsi di wilayah Sulawesi itu sendiri , salah satu daerah yang memiliki struktur geologi yang kompleks adalah Sulawesi tenggara. Daerah Sulawesi tenggara merupakan bagian dari kepingan benua kepulauan. Meski demikian ada beberapa daerah yang temasuk dalam Sulawesi tenggara yang struktur geologinya masih berkaitan erat dengan proses-proses geologi yang ada di mandala timur yang terkenal dengan kompleks ofiolitnya.
Telah banyak para ilmuan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri yang memiliki rasa ingin tahu yang besar tentang batuan penyusun daerah Sulawesi Tenggara. Hal ini tidak terlepas dari pengetahuan awal dari asumsi bahwa daerah-daerah yang dilalui atau dekat dengan jalur ring of fire  pasti memiliki batuan penyusun serta kandungan mineral ekonomis yang beragam. Olehnya itu, mahasiswa kebumian yang baru harus pula mengikuti jejak para peneliti terdahulu salah satunya dengan meneliti langsung batuan penyusun daerah Sulawesi Tenggara. Dilakukannya praktikum lapangan supaya mahasiswa kebumian dapat mengamati sendiri singkapan batuan, dan dapat menegetahui mineral apa saja yang terkandung dalam batuan sehingga dapat menjelaskan genesa dan karakteristik batuan dengan benar berdasarkan pengematan yang dilakukan dilapangan.
Kabupaten Konawe Utara terkenal akan kandungan laterit nikel yang melimpah dengan batuan asal, adalah batuan beku ultrabasa. Dari fakta tersebut, mahasiswa yang melakukan praktikum akan melihat langsung kandungan laterit nikel pada daerah penelitian yang juga telah menjad lahan terbuka pertambangan nikel di Kabupaten Konawe Utara.

1.2. Maksud dan Tujuan
1.2.1     Maksud
Maksud penulisan laporan ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah geologi fisik dan mengumpulkan data-data geologi daerah Motui, konawe utara yang dapat diperoleh baik dari peta topografi maupun dari lapangan.

1.2.2   Tujuan
Tujuan dari penulisan laporan ini adalah :
1.    Mempelajari karakteistik geologi daerah Motui, konawe utara.
2.    Mengetahui proses-proses geomorfologi yang telah ataupun sedang berkembang   di daerah Motui, konawe utara.
3.    Menentukan dan mengelompokkan satuan batuan daerah Motui, konawe utara.



1.3. Letak, Waktu dan Kesampaian daerah

Praktikum lapangan Geologi Fisik dilaksanakan pada hari sabtu tanggal 19 November 2016. Perjalanan ke lapangan di Desa Matandahi kecamatan Motui, dimulai dari gedung jurusan Fakultas Ilmu Dan Teknologi Kebumian (FITK) menggunakan 2 (dua) unit Bus trans lulo. Untuk sampai pada stasiun pertama di lapangan membutuhkan waktu sekitar 2 jam. Di lapangan terdapat 5 singkapan batuan yang akan diideskripsi serta sebuah lahan pertambangan untuk mengambil sampel angkatan. Semua peserta praktikan beserta asisten pendamping dan dosen berjalan menuju stasiun 1 dengan waktu sekitar 10 menit. Dari stasiun 1 menuju stasiun 2 membutuhkan waktu sekitar 40 menit. Dari stasiun 2 menuju stasiun 3 membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Dari stasiun 3 menuju stasiun 4 membutuhkan waktu sekitar 10 menit. dan yang terakhir sebelum sampai pada tempat peristirahatan yaitu dari stasiun 4 ke stasiun 5 membutuhkan waktu sekitar 15 menit. sekitar pukul 13.00 samua praktikan, dosen dan asisten telah sampai di balai desa Bende sebagai tempat istirahat. Identifikasi perstasiun membutuhkan waktu sekitar 10-20 menit. Sekitar pukul 14.30, perwakilan dari tiap-tiap kelompok ditemani beberapa asisten pendamping pergi menuju area pertambangan untuk mengambil sampel angkatan



1.4. Alat dan bahan
1.4.1.   Tabel alat dan bahan
Table 1.1 Alat dan bahan beserta kegunaannya
No.
Alat dan bahan
Kegunaan
1.
Kompas
Sebagai alat penunjuk arah, penentuan strike, dip,dan arah penyebaran batuan
2.
Palu Geologi
Sebagai alat untuk mengambil sampel
3.
GPS
Sebagai alat untuk menentukan titik koordinat
4.
Spidol
Sebagai alat untuk menulis keterangan sampel
5.
Kantong Sampel
Wadah untuk menyimpan sampel berupa batuan
6.
Karung
Wadah untuk mengumpulkan sampel yang telah di Identifikasi
7.
Buku Lapangan
Untuk menulis hasil identifikasi batuan.
9.
Klip Board
Sebagai penyangga kompas.
11.
Laptop
Untuk menulis data lapangan dan laporan lapangan.
12
HCL
Untuk mendeteksi kandungan mineral karbonat pada batuan



1.5. Peneliti Terdaluhu
Adapun nama-nama peneliti terdahulu adalah sebagai berikut :
1.    Rusman, E Sukido, Sukarna. D. Haryono, E, Simanjuntak T.O 1993. Keterangan Peta Geologi lembar Lasusua-Kendari, Sulawesi Tenggara, skala 1 : 250.000.
2.    Surono dan Bachri S., 2001 Stratigraphy, Sedimentation, and Paleogeographic Significance of the Triassic Meluhu pormation, southeast arm of Sulawesi, eastern Indonesia Geological research and development center.
3.    Sukamto, R. 1975. Struktural of Sulawesi in the light of Plate Tektonik. Dept. of Mineral and Energi.
4.    Surono, 2013. Geologi lengan Tenggara Sulawesi. Badan geologi. Kementrian energi dan sumber daya mineral.


BAB 2
GEOLOGI REGIONAL

2.1 Geomorfologi Regional
Gambar 2.1 Peta Pulau Sulawesi

Pulau Sulawesi, yang mempunyai luas sekitar 172.000 km2 (van Bemmelen, 1949), dikelilingi oleh laut yang cukup dalam. Sebagian besar daratannya dibentuk oleh pegunungan yang ketinggiannya mecapai 3.440 m (gunung Latimojong). Seperti telah diuraikan sebelumnya, Pulau Sulawesi berbentuk huruf “K” dengan empat lengan: Lengan Timur memanjang timur laut – barat daya, Lengan Utara memanjang barat – timur dengan ujung baratnya membelok kearah utara – selatan, Lengan tenggrara memanjang barat laut – tenggara, dan Lengan Selatan mebujur utara selatan. Keempat lengan tersebut bertemu pada bagian tengah Sulawesi.
Sebagian besar Lengan Utara bersambung dengan Lengan Selatan melalui bagian tengah Sulwesi yang merupakan pegunungan dan dibentuk oleh batuan gunung api. Di ujung timur Lengan Utara terdapat beberapa gunung api aktif, di antaranya Gunung Lokon, Gunung Soputan, dan Gunung Sempu. Rangakaian gunung aktif ini menerus sampai ke Sangihe. Lengan Timur merupakan rangkaian pegunungan yang dibentuk oleh batuan ofiolit. Pertemuan antara Lengan Timur dan bagian Tengah Sulawesi disusun oleh batuan malihan, sementara Lengan Tenggara dibentuk oleh batuan malihan dan batuan ofiolit.
Seperti yang telah di uraikan sebelumnya,pulau Sulawesi dan daerah sekitarnya merupakan pertemuan tiga lempeng yang aktif bertabrakan.Akibat tektonik aktif ini,pulau Sulawesi dan daerah sekitarnya dipotong oleh sesar regional yang masih aktif sampai sekarang.Kenampakan morfologi dikawasan ini merupakan cerminan system sesar regional yang memotong pulau ini serta batuan penyusunya  bagian tenga Sulawesi,lengan tenggara,dan lengan selatan dipotong oleh sesar regional yang umumnya berarah timur laut – barat daya.
2.1.1 Morfologi
Van Bemmelen (1945) membagi lengan tenggara Sulawesi menjadi tiga bagian: ujung utara, bagian tengah,dan ujung selatan (gambar 3.1), Ujung utara mulai dari palopo sampai teluk tolo; dibentuk oleh batuan ofiolit, Bagian tengah ,yang merupakan bagian paling lebar (sampai 162,5 km), didominasi oleh batuan malihan dan batuan sedimen mesozoikum. Ujung selatan lengan tenggara merupakan bagian yang relative lebih landai ; batuan penyusunya didominasi oleh batuan sedimen tersier ,uraian dibawah ini merupakan perian morfologi dan morfogenesis lengan tengah Sulawesi.
2.1.2   Ujung utara
Ujung utara lengan tenggara Sulawesi mempunyai cirri khas de3ngan munculnya kompleks danau malili yang  terdiri atas danau matano,danau towuti,dan tiga danau kecil disekitarnya (danam mahalona,danau lantoa, dan danau masapi; pembentuka kelima danau itu diduga akibat sistem system sesar matano,yang telah diketahui sebagai sesar geser mengiri. Pembedaan ketinggian dari kelima danau itu memungkinkan air dari suatu danau mengalir ke danau yang terletak lebih rendah.
2.1.3 . Bagian Tengah
Morfologi bagian tengah Lengan Tenggara Sulawesi didominasi oleh pegunungan yang umumnya memanjang hampir sejajar berarah barat laut - tenggara. Pegunungan tersebut diantaranya adalah Pegunungan Mengkoka, Pegunungan Tangkelamboke, dan Pegunungan Matarombeo. Morfologi bagian tengah ini sangat kasar dengan kemiringan lereng yang tajam. Puncak tertinggi pada rangkaian pegunungan Mengkoka adalah Gunung Mengkoka yang mempunyai ketinggian 2790 m dpl. Pegunungan Tangkelamboke mempunyai puncak Gunung Tangkelamboke (1500 m dpl). Sedangkan Pegunungan Matarombeo berpuncak di barat laut Desa Wawonlondae dengan ketinggian 1551 m dpl.
2.1.4. Satuan Morfologi
Setidaknya ada lima satuan morfologi yang dapat dibedakan dari citra IFSAR bagian tengah dan ujung selatan Lengan Tenggara Sulawesi, yakni satuan pegunungan, perbukitan tinggi, perbukitan rendah, dataran rendah, dan karst. Uraian di bawah ini merupakan perian secara singkat dari kelima satuan morfologi tersebut.

2.1.4.1. Satuan Pegunungan
Satuan morfologi pegunungan menempati bagian terluas di kawasan ini, terdiri atas Pegunungan Mengkoka, Pegunungan Tangkelemboke, Pegunungan Mendoke dan Pegunungan Rumbia yang terpisah di ujung selatan Lengan Tenggara. Satuan morfologi ini mempunyai topografi yang kasar dengan kemiringan lereng tinggi. Rangkaian pegunungan dalam satuan ini mempunyai pola yang hampir sejajar berarah barat laut – tenggara. Arah ini sejajar dengan pola struktur sesar regional di kawasan ini. Pola ini mengindikasikan bahwa pembentukan morfologi pegunungan itu erat hubungannya dengan sesar regional.
Satuan pegunungan terutama dibentuk oleh batuan malihan dan setempat oleh batuan ofiolit. Ada perbedaan yang khas di antara kedua penyusun batuan itu. Pegunungan yang disusun oleh batuan ofiolit mempunyai punggung gunung yang panjang dan lurus dengan lereng relatif lebih rata, serta kemiringan yang tajam. Sementara itu, pegunungan yang dibentuk oleh batuan malihan, punggung gunungnya terputus pendek-pendek dengan lereng yang tidak rata walaupun bersudut tajam.
2.1.4.2. Satuan Perbukitan Tinggi
Satuan morfologi perbukitan tinggi menempati bagian selatan Lengan Tenggara, terutama di selatan Kendari. Satuan ini terdiri atas bukit-bukit yang mencapai ketinggian 500 m dpl dengan morfologi kasar. Batuan penyusun morfologi ini berupa batuan sediman klastika Mesozoikum dan Tersier.
2.1.4.3. Satuan Perbukitan Rendah
Satuan morfologi perbukitan rendah melampar luas di Utara Kendari dan ujung selatan Lengan Tenggara Sulawesi. Satuan ini terdiri atas bukit kecil dan rendah dengan morfologi yang bergelombang. Batuan penyusun satuan ini terutama batuan sedimen klastika Mesozoikum dan Tersier
2.1.4.4. Satuan Dataran     
Satuan morfologi dataran rendah dijumpai di bagian tengah ujung selatan Lengan Tenggara Sulawesi. Tepi selatan Dataran Wawotobi dan Dataran Sampara berbatasan langsung dengan satuan morfologi pegunungan. Penyebaran satuan dataran rendah ini tampak sangat dipengaruhi oleh sesar geser mengiri (Sesar Kolaka dan Sistem Sesar Konaweha). Kedua sistem ini diduga masih aktif, yang ditunjukkan oleh adanya torehan pada endapan aluvial dalam kedua dataran tersebut (Surono dkk, 1997). Sehingga sangat mungkin kedua dataran itu terus mengalami penurunan. Akibat dari penurunan ini tentu berdampak buruk pada dataran tersebut, di antaranya pemukiman dan pertanian di kedua dataran itu akan mengalami banjir yang semakin parah setiap tahunnya.
Dataran Langkowala yang melampar luas di ujung selatan Lengan Tenggara, merupakan dataran rendah. Batuan penyusunnya terdiri atas batupasir kuarsa dan konglomerat kuarsa Formasi Langkowala. Dalam dataran ini mengalir sungai-sungai yang pada musim hujan  berair melimpah sedang pada musim kemarau kering. Hal ini mungkin disebabkan batupasir dan konglomerat sebagai dasar sungai masih lepas, sehingga air dengan mudah merembes masuk ke dalam tanah. Sungai tersebut di antaranya Sungai Langkowala dan Sungai Tinanggea. Batas selatan antara Dataran Langkowala dan Pegunungan Rumbia merupakan tebing terjal yang dibentuk oleh sesar berarah hampir barat-timur. Pada Dataran Langkowala, terutama di dekat batas tersebut, ditemukan endapan emas sekunder. Surono (2009) menduga emas tersebut berasal dari batuan malihan di Pegunungan Rumbia dan sekitarnya.
2.1.4.5. Satuan Karst
Satuan morfologi karst melampar di beberapa tempat secara terpisah. Satuan ini dicirikan perbukitan kecil dengan sungai di bawah permukaan tanah. Sebagian besar batuan penyusun satuan morfologi ini didominasi oleh batugamping berumur Paleogen dan selebihnya batugamping Mesozoikum. Batugamping ini merupakan bagian Formasi Tampakura, Formasi Laonti, Formasi Tamborasi dan bagian atas dari Formasi Meluhu. Sebagian dari batugamping penyusun satuan morfologi ini sudah terubah menjadi marmer. Perubahan ini erat hubungannya dengan pensesar-naikkan ofiolit ke atas kepingan benua. Di sekitar Kendari batugamping terubah tersebut ditambang untuk bahan bangunan.

2.2 Stratigrafi Regional
Gambar 2.2 Stratigrafi Regional Sulawesi

Formasi Meluhu diberikan oleh Rusmana & Sukarna (1985) kepada satuan batuan yang terdiri batupasir kuarsa, serpih merah, batulanau, dan batulumpur di bagian bawah; dan perselingan serpih hitam, batupasir, dan batugamping di bagian atas. Formasi Meluhu menindih takselarasan batuan malihan dan ditindih takselaras oleh satuan batugamping Formasi Tampakura.
Formasi Meluhu mempunyai penyebaran yang sangat luas di Lengan Tenggara Sulawesi. Formasi ini telah dipublikasikan secara luas; di antaranya oleh Surono dkk. (1992); Surono (1997b, 1999), serta Surono & Bachri (2002), Sebagian besar bahasan selanjutnya merupakan terjemahan dan/atau kompilasi dari publikasi tersebut.
Surono (1997b) membagi Formasi Meluhu menjadi tiga anggota (dari bawah ke atas):
ร˜  Anggota Toronipa yang didominasi oleh batupasir dan konglomerat,
ร˜  Anggota Watutaluboto didominasi oleh batulumpur, batulanau, dan serpih,
ร˜  Anggota tuetue dicirkan oleh hadirnya napal dan batu gamping.

2.3 Struktur Geologi Regional
Gambar 2.3 Struktur Regional dan Tektonik Sulawesi

Seperti telah diuraikan sebelumnya Lengan Tenggara Sulawesi termasuk kawasan pertemuan dua lempeng, yakni lempeng benua yang berasal dari Australia dan lempeng samudera dari Pasifik. Kepingan benua di Lengan Tenggara Sulawesi dinamai Mintakat Benua Sulawesi Tenggara (South east Sulawesi Continental Terrane) dan Mintakat Matarombeo oleh Surono (1994). Kedua lempeng dari jenis yang berbeda ini bertabrakan dan kemudian ditindih oleh endapan Molasa Sulawesi. Sebagai akibat subduksi dan tumbukan lempeng pada Oligosen Akhir – Miosen Awal, Kompleks ofiolit tersesar-naikkan ke atas Mintakat Benua. Molasa Sulawesi, yang terdiri atas batuan sedimen klastik dan karbonat, terendapkan selama akhir dan sesudah tumbukan, sehingga, Molasa ini menindih takselaras  Mintakat Benua Sulawesi Tenggara dan Kompleks Ofiolit tersebut. Pada akhir kenozoikum lengan ini dikoyak oleh sesar Lawanopo dan beberapa pasangannya, termasuk Sesar Kolaka.
2.3.1. Parit Sulawesi Utara          
Parit Sulawesi Utara yang memanjang barat-timur, merupakan zona benioff, tempat Kerak Laut Sulawesi menunjam di bawah Lengan Utara Sulawesi mulai pada akhir Paleogen (Fitch, 1970; Katili, 1971; Cardwell & Isack, 1978; Hamilton, 1979; McCaffrey dkk, 1983). Subduksi ini mencapai  puncaknya pada Neogen. Namun demikian, hasil analisis seismologi menunjukkan bahwa Parit Sulawesi Utara ini sudah menyurut aktivitasnya (McCaffrey dkk, 1983; Kertapati dkk, 1992). Simandjuntak (1988; dalam Darman dan Sidi, 2000) menduga bagian timur parit ini menunjukkan gejala aktif kembali ditandai aktivitas vulkanisme di ujung timur dan daerah sekitar Lengan Utara.
2.3.2. Sistem Sesar Palu-Koro
Nama sesar Palu-Koro diusulkan pertama kali oleh Sarasin (1901) yang kemudian diulangi oleh Rutten (1927). Sistem sesar ini menorah mulai ujung utara Selat Makassar, melaui Kota Palu  dan menerus sampai Teluk Bone. Hasil pemetaan geologi yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (sekarang menjadi Pusat Survei Geologi) menunjukkan bahwa sistem sesar ini berhubungan juga dengan Sesar Matano dan Sesar Lawanopo (Simandjuntak dkk, 1993a, b, c, d; Rusmana, dkk,1993; Sukamto, 1975a; Rusmana dkk, 1993).
Gerakan horizontal dan vertikal Sesar Palu-Koro telah dianalisis oleh beberapa penulis Van Bemmelen (1970) dan Katili (1978) setuju bahwa bagian utara sesar ini didominasi oleh gerakan vertikal, sedangkan bagian selatannya oleh gerakan horizontal mengiri. Kecepatan gerakan horizontal, yang dianalisis oleh beberapa penulis, hasilnya berbeda, misalnya sudradjat (1981, dalam Darman & Sidi, 2000) 2-3,5 mm sampai 14-17 mm/tahun; Indriastuti (1990, dalam Darman & Sidi, 2000) 1,23 mm/tahun. Sementara itu, kecepatan gerakan vertical, yang dihitung berdasarkan pengangkatan koral,  adalah 4,5 mm/tahun (Tjia & Zakaria, 1974), dan 3,4 mm/tahun (Walpersdoft dkk, 1997; dalam Darman & Sidi, 2000). Sistem Sesar Palu-Koro walaupun didominasi oleh gerakan horizontal mengiri, juga secara setempat membentuk tinggian dan rendahan. Bentuk rendahan semacam cekungan dapat dikenali Danau Matano, Danau Poso, dan Lembah Palu.
2.3.3. Sesar Naik Batui
Sesar Naik Batui merupakan hasil tumbukan antara Kepingan Benua Banggai-Sula dengan Lajur Ofiolit Sulawesi Timur; kepingan tersebut naik terhadap lajur ofiolit. Sesar naik ini menorah ujung Lengan Timur Sulawesi sampai Teluk Tolo dan bertemu dengan perpanjangan Sesar Matano, yang dinamai Sesar Manui oleh Gerrard dkk. (1988).
Sesar Naik Batui ini dipotong oleh beberapa sesar geser yang hadir belakangan, di antaranya Sesar Toili, Ampana, dan Wekuli (Simandjuntak, 1986; Rusmana dkk, 1993; Surono ddk, 1993). Berdasarkan rekaman seismik sesar naik ini mengalami pengaktifan kembali (McCaffrey dkk, 1983; Kertapati dkk, 1992). Endapan teras terumbu koral Kuarter yang tersebar mulai Batui sampai ujung Lengan Timur Sulawesi (Rusmana dkk, 1993; Surono dkk, 1993) menunjukkan bahwa paling tidak ada tiga kali periode pengangkatan. Besar kemungkinan pengangkatan terumbu koral tersebut diakibatkan karena kegiatan Naik Sesar Batui.
2.3.4  Sesar Naik Poso
Sesar Naik Poso memanjang utara-selatan, mulai  dari Tanjung Peindilisa di Teluk Tomini sampai Masamba di pantai utara Teluk Bone (Sukamto, 1975a; Simandjuntak dkk, 1993b;d). Sesar naik ini memisahkan Lajur Malihan Sulawesi Tengah di bagian timur dengan Lajur Vulkanik Sulawesi Barat  di barat.
Berdasarkan hasil rekaman seismik, Kertapati dkk, (1992) menduga saat ini Sesar Naik Poso dalam keadaan tidak aktif. Namun demikian, gempa yang terjadi di bagian barat Teluk Tomini beberapa waktu lalu memungkinkan paling tidak ujung utara sesar tersebut teraktifkan kembali (Darman & Sidi, 2000).
2.3.5  Sesar Walanae
Sesar Walanae, yang berarah hampir utara-selatan, menorah Lengan Selatan Sulawesi dan menerus memotong Pulau Selayar yang berada di selatannya (Sukamto, 1975a; Sukamto, R. & Supriatna, S, 1982; Sukamto, R, 1982). Bahkan Darman & Sidi, (2000) menduga sesar ini menerus ke selatan sampai ke Sesar Naik Flores di utara Pulau Flores. Ke arah utara Sesar tersebut mungkin menerus sampai Selat Makassar dan bersatu dengan rantas (suture) Paternoster-Lupar.
Sesar Walanae teraktifkan kembali pada kuarter sehingga membentuk depresi Walanae yang luas. Namun rekaman seismik tidak menunjukkan keaktifan sesar ini (Darman & Sidi, 2000).
2.3.6  Tektonik Sulawesi   
Berdasarkan data geologi dan geofisika, Simandjuntak (1993 dalam Darman dan Sidi, 2000) menyatakan bahwa Pulau Sulawesi dan daerah sekitarnya mengalami empat kali kegiatan tektonik seperti dijelaskan  di bawah ini.

2.3.6.1. Subduksi tipe Cordileran Kapur
Subduksi tipe Cordileran dicirikan oleh zona Beniof yang miring kea rah barat di bagian barat Sulawesi. Subduksi ini mengakibatkan proto-laut Banda menunjam di bawah tepi timur Paparan Sunda. Subduksi ini juga ditandai oleh keberadaan batuan malihan berderajat rendah berumur Kapur Akhir di Sulawesi Tengah, batuan campur aduk (mรฉlange) berumur Kapur – Paleogen, dan Lajur Gung Api Sulawesi Barat. Batuan endapan turbidit laut dalam berumur Kapur di Sulawesi Barat mungkin merupakan endapan sepanjang palung.
2.3.6.2. Tumbukan divergen Mesozoikum
 Tektonik divergen pada Mesozoikum terjadi akibat pemekaran tipe utara Benua Australia. Pemekaran pada tepi benua itu mengakibatkan beberapa keping benua terpisah dari induknya dan kemudian bergerak ke arah utara – utara barat ke posisi sekarang yang tersebar di Kawasan Laut Banda. Garrad dkk, (1988) menduga proses pemisahan ini terjadi sejak Jura. Beberapa penulis (di antaranya Simandjuntak, 1986; 1993; Garrad dkk, 1988; Darman & Sidi, 2000) menduga pergerakan kepingan benua tersebut melalui Sesar Sorong.
2.3.6.3. Tumbukan Tipe Tethyan Neogen
`Sebagian kepingan benua tersebut bertumbukan dengan kompleks subduksi Kapur dan ofiolit di Sulawesi dan daerah sekitarnya pada Neogen. Pada kawasan ini dijumpai di antaranya Kepingan Banggai-Sula, Kepingan Sulawesi Tenggara, Paparan Buton dan Tukangbesi. Pada tumbukan tipe Tethyan ini kepingan benua tersebut menyusup di bawah ofiolit dan kompleks subduksi (Darman & Sidi, 2000). Simandjuntak (1986) menemukan batuan campur aduk (mรฉlange) sepanjang Sesar Naik Batui, di Lengan Timur Sulawesi. Akhir dari tumbukan Neogen ini mengakibatkan Lajur Ofiolit Sulawesi Timur Naik ke atas tepi beberapa kepingan benua tersebut.
2.3.6.4. Tumbukan Kuarter
Pada waktu ini kawasan Sulawesi dan daerah sekitarnya menunjukkan adanya tektonik aktif:
ร˜  Lajur subduksi di utara Lengan Utara Sulawesi (North Sulawesi Trench), tempat lempeng Laut Sulawesi menunjam masuk di bawah Lengan Utara Sulawesi. Lajur subduksi ini berhubungan dengan sesar geser mengiri aktif Palu-Koro, Matano, dan Lawanopo.
ร˜  Jalur gunung api aktif mulai ujung utara Lengan Utara sampai ke Sangihe yang diakibatkan oleh subduksi ganda di utara Sulawesi pada Neogen, kemudian diaktifkan kembali oleh Kuarter.
ร˜  Pergerakan ke barat Kepingan Benua Banggai-Sula menyebabkan Lajur Ofiolit Sulawesi Utara tersesar-naikkan di atas kepingan itu.
ร˜  Teras batugamping terumbu yang memanjang dari Batui sampai ujung utara Lengan Utara Sulawesi.


BAB 3
HASIL DAN ANALISIS DATA


3.1 STASIUN 1
 Gambar singkapan 3.1.1                                Gambar skesta 3.1.2

Identifikasi singkapan
Hari/tanggal                                : Sabtu,19 november 2016
Koordinat                                     : E 122° 24’ 25,87” , S 03° 55’ 59,49”
Cuaca                                          : Cerah
Lokasi                                           : Paku Jaya
Data struktur                               : Strike N 132°E Dip 54°W
Deskripsi batuan
Jenis batuan                               : Batuan sedimen 
Warna
Segar                                : Merah kecoklatan
Lapuk                               : Coklat kekuningan
Tekstur
Ukuran butir                    : lanau (1/16 – 1/256)
Bentuk                             : Angular
                     Sortasi                          : Terpilah Baik
                     Kemas                          : Terbuka
                     Porositas                      : Baik
                     Permeabilitas              : Baik
Struktur                                              : Berlapis
Nama batuan                                    : BatuLanau


















3.2 STASIUN 2
            Gambar singkapan 3.2.1                            Gambar skesta 3.2.2

Identifikasi singkapan
Hari/tanggal                 : Sabtu, 19 November 2016
Kordinat                      : E 122°24’37” S 03°55’49”
Cuaca                         : Cerah
             Lokasi                         : Motui
Data stuktur                : -
Deskripsi batuan      
Jenis batuan              : Sadiman Non Klastik
Warna
Segar                 : Biru Keabu-abuan
Lapuk                  : Coklat
Tekstur                       : Amorf
             Struktur                         : Masif
Nama Batuan             : Batu Gamping
Keterangan                 : Tidak Bereaksi dengan HCL


3.3 STASIUN 3
     Gambar singkapan 3.2.1                          Gambar skesta 3.3.2
Identifikasi singkapan
Hari/tanggal                 : Sabtu,19 november 2016
Kordinat                      : E 122° 26’ 02” S 03° 50’ 19”
Cuaca                         : Cerah
             Lokasi                         : Motui
Data struktur               : -
Deskripsi batuan       
Jenis batuan               : Batuan  Beku
Warna
Segar                  : Abu-Abu
Lapuk                   : Coklat Keputihan
Tekstur
Kristalinitas         : Holokristalin
Granulitas           : Faneritik
Fabrik                   :
     Bentuk            : Euhedral
     Relasi              : Equigranular
Struktur                          : Masif
Nama batuan               : Batu Peridotit
3.4 STASIUN 4
Gambar singkapan 3.4.1                           Gambar skesta 3.4.2

Identifikasi singkapan
Hari/tanggal                 : Sabtu,19 november 2016
Kordinat                      : E 122° 26’ 07” S 03° 50’ 49”
Cuaca                         : Cerah
             Lokasi                         : Motui
Data struktur               : -
Deskripsi batuan       
Jenis batuan               : Batuan  Beku
Warna
Segar                  : Abu-Abu
Lapuk                   : Coklat Keputihan
Tekstur
Kristalinitas         : Holokristalin
Granulitas           : Faneritik
Fabrik                   :
     Bentuk            : Eubhedral
     Relasi              : Equigranular
Struktur                          : Masif
Nama batuan               : Batu Peridotit

3.5 STASIUN 5
  Gambar singkapan 3.5.1                            Gambar skesta 3.5.1

Identifikasi singkapan
Hari/tanggal                 : Sabtu,19 november 2016
Kordinat                      : E 122° 36’ 02” S 03° 00’ 26”
Cuaca                         : Cerah
             Lokasi                         : Motui
Data struktur               : -
Deskripsi batuan       
Jenis batuan               : Batuan  Beku
Warna
Segar                  : Abu-Abu
Lapuk                   : Coklat Keputihan
Tekstur
Kristalinitas         : Holokristalin
Granulitas           : Faneritik
Fabrik                   :
     Bentuk            : Euhedral
     Relasi              : Equigranular
Struktur                          : Masif
Nama batuan               : Batu Peridotit

BAB 4
PEMBAHASAN

4.1         STASIUN 1
Dijumpai singkapan batuan didaerah paku jaya dengandimensi 15x8m dan titik koordinat  E 122° 24’ 25,87” , S 03° 55’ 59,49” berjenis batuan sedimen klastik. Singkapan batuan ini memiliki arah penyebaran dari arah tenggara sampai dengan arah barat laut. Batuan dari singkapan ini memiliki hubungan yang selaras dengan batuan lainnya didaerah sekitarnya. Selain itu, batuan ini bersifat insitu karena masih didalam daerah induknya dengan tingkat pelapukan sedang. Setelah itu, kami melakukan identifikasi batuan secara megaskopis pada batuan yang berjenis batuan sedimen klastik ini dan mendapatkan hasil. Hasil yang diperoleh adalah batuan dengan ciri fisik, warna segar berwarna merah dan warna lapuknya berwarna kuning kecoklatan. Batuan ini memiliki ukuran butir 1/16 – 1/256 (lanau) menurut skala wentworth dan bentuk dari butirnya berbentuk angular. Batuan ini memiliki pilahan sortasi yang baik karena adanya keseragaman ukuran butir dari batuan tersebut. Kemas dari batuan ini tertutup sehingga kemampuan meloloskan air dan daya serap air batuan yang saling berbanding lurus rendah. Memiliki struktur yang berlapis. Dari hasil identifikasi yang telah diperoleh dapat disimpulkan bahwa batuan berjenis sedimen klastik ini memiliki ciri fisik yang cocok dengan batuan bernama batu lanau.
Batu lanau yang diperoleh merupakan bagian dari singkapan batuan yang memiliki relief curam dan bertipe morfologi sebagai perbukitan dengan Strike N 132⁰ E dan Dip 54⁰ W. Soil dari singkapan batuan ini adalah residual karna tanah yang berada didaerah batuan merupakan hasil pelapukan dari singkapan batuan itu sendiri. Tata guna lahan singkapan ini adalah sebagai jalan


4.2           STASIUN 2
Dijumpai sebuah singkapan dideaerah Motui bertitik koordinat        E 122°24’37” S 03°55’49” dengan dimensi 5x3 m. Jenis batuan yang terdapat pada sigkapan ini adalah batuan sedimen non-klastik. Batuan pada singkapan ini tidak memiliki hubungan dengan batuan lain didaerah sekitarnya serta bersifat insitu karena masih berada didaerah batuan induknya. Batuan dari singkapan ini memiliki ciri fisik dengan warna segar berwarna biru keabu-abuan dan warna lapuk berwarna coklat. Batuan ini tidak memiliki kenampakan Kristal sehingga memiliki tekstur amorf. Batuan ini memiliki struktur massif dan tidak memiliki reaksi terhadap Hcl. Dari ciri fisik yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa batuan sedimen non-klastik ini bernama batu gamping.
Baru gamping ini terdapat pada singkapan berrelief curam dan memiliki tipe morfologi perbukitan. Arah penyebaran batuan ini tersebar dari arah barat barat laut kea rah timur menenggara. Tanah (soil) didaerah batuan ini merupakan hasil transportasi dari daerah lain sehingga berjenis transported. Singkapan batuan ini memiliki tata guna lahan sebagai hutan.


4.3           STASIUN 3
Dijumpai singkapan batuan berlokasi di daerah Motui dengan titik koordinat E 122° 26’ 02” S 03° 50’ 19” berdimensi 5x3 m. Batuan ini berjenis batuan beku yang bersifat insitu dan tidak memiliki hubungan dengan batuan lain didaerah sekitarnya. Kemudian kami melakukan identifikasi pada batuan ini secara megaskopis dan mendapatkan hasil dengan ciri fisik berwarna segar warna biru keabu-abuan dan warna lapuk coklat. Batuan ini memiliki tingkat kristalinitas holokristalin yang keseluruhan batuannya dikelilingi oleh kristal. Granulitas dari batuan ini adalah faneritik karena ukuran butir pada batuan ini dapat dilihat oleh kasat mata. sedangkan, untuk bentuk fabrik batuan ini adalah euhedral karena memiliki bentuk kristal yang sempurna  dan seluruh bidangnya terlihat jelas. Batuan ini memiliki relasi equigranular karena ukuran butirnya yang seragam dan memiliki struktur masif. Batuan ini memiliki kandungan mineral olivine dengan bentuk memipih panjang dan berwarna hijau, piroksin berwarna hijau, ampibhol berwarna hijau dan berbentuk memipih pendek, dan biotit berwarna hitam dan berbentuk memipih, serta mineral kuarsa berwarna putih dan berbentuk prismatik. Dari hasil identifikasi yang telah diperoleh dapat disimpulkan bahwa batuan beku ini memiliki nama batu peridotit.
Batu peridotit ini terdapat pada singkapan dengan tingkat relief yang curam dan memiliki tipe morfologi perbukitan. Untuk tingkat pelapukan batuannya, batuan ini memiliki tingkat pelapukan dari sedang sampai tinggi. Soil dari batuan ini memiliki soil berjenis residual dan memiliki tata guna lahan sebagai hutan


4.4           STASIUN 4
Dijumpai singkapan batuan berlokasi di daerah Motui dengan titik koordinat E 122° 26’ 07” S 03° 50’ 49” berdimensi 12x8 m. Batuan ini berjenis batuan beku yang bersifat insitu dan tidak memiliki hubungan dengan batuan lain didaerah sekitarnya. Kemudian kami melakukan identifikasi pada batuan ini secara megaskopis dan mendapatkan hasil dengan ciri fisik berwarna segar warna biru keabu-abuan dan warna lapuk coklat. Batuan ini memiliki tingkat kristalinitas holokristalin yang keseluruhan bagian batuannya dikelilingi oleh kristal. Granulitas atau ukuran butir dari batuan ini adalah faneritik karena ukuran butir pada batuan ini dapat dilihat oleh kasat mata. sedangkan, untuk bentuk fabrik batuan ini adalah euhedral karena memiliki bentuk kristal yang sempurna  dan seluruh bidangnya terlihat jelas. Batuan ini memiliki relasi equigranular,dimana ukuran butirnya yang seragam, serta batuan ini memiliki struktur masif. Batuan ini memiliki kandungan mineral olivine dengan bentuk memipih panjang dan berwarna hijau, piroksin berwarna hijau, ampibhol berwarna hijau dan berbentuk memipih pendek, dan biotit berwarna hitam dan berbentuk memipih, serta mineral kuarsa berwarna putih dan berbentuk prismatik. Dari hasil identifikasi yang telah diperoleh dapat disimpulkan bahwa batuan beku ini memiliki nama batu peridotit.
Batu peridotit ini terdapat pada singkapan dengan tingkat relief yang curam dan memiliki tipe morfologi perbukitan. Untuk tingkat pelapukan batuannya, batuan ini memiliki tingkat pelapukan dari sedang sampai tinggi. Soil atau tanah dari batuan ini memiliki soil berjenis residual yang merupakan tanah hasil dari pelapukan batu itu sendiri, dan memiliki tata guna lahan sebagai hutan.



4.5           STASIUN 5
Dijumpai singkapan batuan berlokasi di daerah Motui dengan titik koordinat E 122° 36’ 02” S 03° 00’ 26” berdimensi 15x8 m. Batuan ini berjenis batuan beku yang bersifat insitu dan tidak memiliki hubungan dengan batuan lain didaerah sekitarnya. Setelah itu, kami melakukan identifikasi pada batuan ini secara megaskopis dan mendapatkan hasil dengan ciri fisik batuan berwarna segar warna biru keabu-abuan dan warna lapuk coklat. Batuan ini memiliki tingkat kristalinitas holokristalin yang merupakan keseluruhan batuannya dikelilingi oleh kristal. Granulitas (ukuran butir) dari batuan ini adalah faneritik karena butir pada batuan ini dapat dilihat oleh kasat mata. sedangkan, untuk bentuk fabrik batuan ini adalah euhedral karena memiliki bentuk kristal yang sempurna  dan seluruh bidangnya terlihat jelas. Batuan ini memiliki relasi equigranular karena ukuran butirnya yang seragam dan memiliki struktur masif. Batuan ini memiliki kandungan mineral olivine dengan bentuk memipih panjang dan berwarna hijau, piroksin berwarna hijau, ampibhol berwarna hijau dan berbentuk memipih pendek, dan biotit berwarna hitam dan berbentuk memipih, serta mineral kuarsa berwarna putih dan berbentuk prismatik. Dari hasil identifikasi yang telah diperoleh dapat disimpulkan bahwa batuan beku ini memiliki nama batu peridotit.
Batu peridotit ini terdapat pada singkapan dengan tingkat relief yang curam dan memiliki tipe morfologi perbukitan. Untuk tingkat pelapukan batuannya, batuan ini memiliki tingkat pelapukan dari sedang sampai tinggi. Soil dari batuan ini memiliki soil berjenis residual dan memiliki tata guna lahan sebagai hutan



BAB 5
BAHAN DISKUSI

5.1         BATUBAUKSIT
Bauksit ( bahasa Inggris : bauxite ) adalah biji utama aluminium terdiri dari hydrous aluminium oksida dan aluminium hidroksida yakni dari mineral gibbsite Al(OH)3, boehmite ฮณ-ALO (OH), dan diaspore ฮฑ-ALO (OH), bersama-sama dengan oksida besi goethite dan bijih besi, mineral tanah liat kaolinit dan sejumlah kecil anatase Tio 2 . Pertama kali ditemukan pada tahun 1821 oleh geolog bernama Pierre Berthier pemberian nama sama dengan nama desa Les Baux di selatan Perancis .
Bauksit adalah bijih logam aluminium (Al) dan merupakan suatu koloid oksida Al dan Si yang mengandung air. Istilah bauksit dipergunakan untuk bijih yang mengandung oksida aluminium monohidrat atau anhidrat. Biasanya berasosiasi dengan laterit, warnanya tergantung dari oksida besi yang terkandung dalam batuan asal. Makin basa batuan asal biasanya makin tingggi kandungan unsure besinya, sehingga warna dari bijih bauksit akan bertambah merah. Dialam bauksit berupa mineral Gipsit Ahmit atau Diaspor.
Bauksit terbentuk dari batuan yang mempunyai kadar aluminium tinggi, kadar Fe rendah dan sedikit kadar kuarsa bebas. Mineral silikat yang terubah akibat pelapukan, mengakibatkan unsure silika terlepas dari ikatan Kristal  dan sebagian unsure besi juga terlepas. Pada proses ini terjadi penambahan air, sedangkan alumina, bersam dengan titanium den ferric oksida (dan mungkin manganis oksida) menjadi terkonsentrasi sebagai endapan residu aluminium. Batuan yang memenuhi persyaratan itu antara lain nepelin syenit, dan sejenisnya dan berasal dari batuan beku, batuan lempung/serpih. Batuan itu akan mengalami proses lateritisasi (proses pertukaran suhu secara terus menerus sehingga batuan mengalami pelapukan). Secara komersial baukist terjadi dalam 3 bentuk:
·         Pissolitic atau Oolitik disebut pua ‘kernel’ yang berukuran diameter dari sentimeter sebagai amorfous tryhidrate
·         Sponge Ore (Arkansas), porous, merupakan sisa dari batuan asal dan komposisi utama gigsite
·         Amorphous atau bijih lempung
Bauksit digunakan untuk bijih yang mengandung oksida aluminium monohidrat atau trihidrat. Berupa mineral gibsit, ochmit atau diaspor. Bauksit terjadi sebagai akibat adanya pelapukan dan material yang mengandung alumina. Endapan yang besar terjadi di daerah-daerah beriklim tropis dan subtropis basah. Bahan pembuatan aluminium yang terdapat di Indonesia yaitu bauksit. Bijih bauksit perlu ditambang. Aluminium yang berasal dari bauksit banyak digunakan untuk ampelas, bahan yang tahan api, pembuat logam, dan industri kimia. Bauksit umumnya terjadi pada permukaan atau dekat permukaan dan merupakan letakan- letakan mendatar, maka cara penyelidikan yang tepat dan praktis yaitu dengan membuat sumuran. Bor tangan dapat digunakan untuk endapan yang dalam. Adapun cara penambangan bijih bauksit yang dilakukan di Pulau Bintan adalah dengan cara penambangan terbuka. Lapisan penutup dibuldozer. Setelah terbuka, maka bijihnya dikeruk. Bijih yang dihasilkan ini kemudian diangkat ke tempat pencucian. Endapan bauksit di Indonesia terdapat di Riau (Pulau Bintan), Sumatra Selatan (Pulau Bangka dan Pulau Binton), dan Kalimantan Barat (Singkawang).
5.1.1     Proses Terjadinya Batu Bauksit
Bauksit terbentuk dari batuan yang mengandung unsur Al. Batuan tersebut antara lain nepheline, syenit, granit, andesit, dolerite, gabro, basalt, hornfels, schist, slate, kaolinitic, shale, limestone dan phonolite. Apabila batuan- batuan tersebut mengalami pelapukan, mineral yang mudah larut akan terlarutkan, seperti mineral – mineral alkali, sedangkan mineral – mineral yang tahan akan pelapukan akan terakumulasikan.
Bauksit terbentuk dari batuan yang mempunyai kadar alumunium nisbi tinggi, kadar Fe rendah dan tidak atau sedikit mengandung kuarsa (SiO¬2) bebas atau tidak mengandung sama sekali. Bentuknya menyerupai cellular atau tanah liat dan kadang-kadang berstruktur pisolitic. Secara makroskopis bauksit berbentuk amorf. Kekerasan bauksit berkisar antara 1 – 3 skala Mohs dan berat jenis berkisar antara 2,5 – 2,6. . Bauksit dapat ditemukan dalam lapisan mendatar tetapi kedudukannya di kedalaman tertentu.
Di daerah tropis, pada kondisi tertentu batuan yang terbentuk dari mineral silikat dan lempung akan terpecah-pecah dan silikanya terpisahkan sedangkan oksida alumunium dan oksida besi terkonsentrasi sebagai residu. Proses ini berlangsung terus dalam waktu yang cukup dan produk pelapukan terhindar dari erosi, akan menghasilkan endapan lateritik. Kandungan alumunium yang tinggi di batuan asal bukan merupakan syarat utama dalam pembentukan bauksit, tetapi yang lebih penting adalah intensitas dan lamanya proses laterisasi.
Kondisi – kondisi utama yang memungkinkan terjadinya endapan bauksit secara optimum adalah ;
1.    Adanya batuan yang mudah larut dan menghasilkan batuan sisa yang kaya Alumunium.
2.    Adanya vegetasi dan bakteri yang mempercepat proses pelapukan.
3.    Porositas batuan yang tinggi, sehingga sirkulasi air berjalan dengan mudah.
4.    Adanya pergantian musim (cuaca) hujan dan kemarau (kering).
5.    Adanya bahan yang tepat untuk pelarutan.
6.    Relief (bentuk permukaan) yang relatif rata, yang mana memungkinkan terjadinya pergerakan air dengan tingkat erosi minimum.
7.    Waktu yang cukup untuk terjadinya proses pelapukan

5.1.2     Klasifikasi Bauksit
Berdasarkan genesanya, bijih bauksit terbagi atas 5 yaitu, bauksit pada batuan klastik kasar, bauksit pada terrarosa, bauksit pada batuan karbonat, bauksit pada batuan sedimen klastik dan bauksit pada batuan fosfat. Sedangkan berdasarkan letak depositnya bauksit terbadi atas 4 yaitu deposit bauksit residual, deposit bauksit koluvial, deposit bauksit alluvial pada perlapisan dan deposit bauksit alluvial pada konglomerat kasar.
5.1.3     Manfaat Bauksit
Bijih bauksit jika diproses dengan benar, maka akan menghasilkan alumina. Dari alumina inilah logam aluminium dibuat. Alumina yang dielektrolisa dalam bejana cryolit cair, akan menghasilkan logam aluminium. Sebagai  bahan industry keramik, logam dan metalurgi.
5.1.4     Syarat Terbentuknya Bauksit
Ada beberapa syarat terbentuknya BatuBauksit, yaitu :
1.    Iklim humid tropis dan subtropics
2.    Batuan sumber mengandung alumina tinggi
3.    Reagent yang sesuai pH dan Eh, sehingga mampu merubah silikat
4.    Infiltrasi air meteoric prmukaan secara lambat
5.    kondisi bawah permukaan (larutan bawah permukaan) yang mampu melarutkan unsure batuan yang dilaluinya
6.    Sublitas tektinik yang berlangsung lama
7.    Preservation

5.1.5     Metode Eksplotasi Bauksit
Tahapan eksplorasi bauksit meliputi pengukuran dan pemetaan, pembuata sumur uji, pengambilan conto laterit bauksit, perhitungan cadangan, ketebalan tanah penutup (OB) swell factor dan factor konkresi.
5.1.6     Metode Penambangan
Tambang bauksit berupa surface mining. Endapan bauksit di setiap lokasi mempunyai kadar yang berbeda-beda, sehingga penambangannya dilakukan secara selektif dan pencampuran (blending) merupakan salah satu cara untuk memenuhi persyaratan ekspor.
5.1.7     Sistem Penambangan
Metode dan urutan penambangan bijih bauksit secara umum adalah :
1.    Pembersihan local (land clearing) dari tumbuh – tumbuhan yang terdapat diatas endapan bijih bauksit.
2.    Pengupasan lapisan penutup (stripping OB) yang umumnya memiliki ketebalan 0.2 meter. Untuk pengupasan lapisan digunkan bulldozer.
3.    Penggalian (digging) endapan bauksit dengan excavator dan pemuatan bijih digunakan dump truck.


BAB 6
PENUTUP

6.1         KESIMPULAN
·         Berdasarkan hasil penelitian fieldtrip yang telah dilakukan, peneliti dapat memberikan kesimpulan bahwa ditemukan beberapa singkapan batuan di beberapa dengan bermacam-macam batuan baik di daerah Motui yang mempunyai beberapa manfaat dalam kehidupan sehari-hari.
·         Beberapa batuan tersebut mempunyai karakteristik yang yang berbeda- beda menurut tempat asal terbentuknya, proses terjadinya serta komposisinya. Sehingga mengakibatkan ciri fisik yang berbeda-beda pada tekstur, struktur, warna, dan lain-lain.
·         Dalam fieldtrip ini penulis ini juga menyimpulkan bahwa mengidentifikasi batuan secara langsung tidaklah semudah ketika mendapatkan teori. Pengambilan sampel perlu dilakukan sehingga diperlukan beberapa alat untuk membantu pengambilan sampel.

6.2         SARAN
Sebaiknya dalam praktikum lapangan geologi fisik, asisten selalu mendampingi praktikan pada saat mengambil sampel/mengidentifikasi singkapan, dari singkapan pertama sampai terakhir. Selain itu, saya harap pada fieldtrip selanjutnya pihak universitas dapat menyediakan alat yang lebih lengkap agar praktikan tidak usah lagi bersusah payah meminjamnya dari pihak lain.

0 komentar:

Post a Comment